Lantas, berapa banyak populasi yang mesti terinfeksi penyakit agar herd immunity bisa terbentuk?
Maret lalu, Sulfikar Amir dan Fredy Tantri, dua peneliti di Nanyang Technological University Singapura coba menjawabnya dengan pemodelan matematis.
Hasilnya, herd immunity terbentuk jika setidaknya 81 persen populasi terinfeksi penyakit tersebut (Kompas, 11 Mei 2020).
Di Indonesia, jumlah itu sama dengan membiarkan 190 juta penduduk Indonesia terinfeksi Covid-19 agar timbul herd immunity.
Baca juga: Apa Itu Herd Immunity, dan Mengapa Bisa Sebabkan Kematian Massal?
Menjadi masalah karena Covid-19 berpeluang besar mengakibatkan kematian pada orang-orang usia lanjut atau memiliki riwayat penyakit penyerta.
Di samping itu, tingkat kematian pasien terkonfirmasi Covid-19 di Indonesia di atas rata-rata dunia dengan 6,8 persen kasus berujung kematian.
“Delapan puluh persen kasus Covid-19 mungkin tidak bergejala, 15 persen gejala sedang, 5 persen gejalanya sangat berat dan berisiko kematian,” ungkap epidemiolog Eijkman-Oxford Clinical Research Unit in Indonesia, Iqbal Elyazar dalam seminar virtual pada Selasa.
“Bayangkan. 5 persen dari jumlah penduduk (Indonesia, hasilnya sekitar 13-14 juta jiwa). Itu besar. Sangat luar biasa jumlah kematian pada kelompok bergejala berat. Strategi ini (herd immunity) berisiko tinggi, tidak dianjurkan,” tambah dia.
Baca juga: Cegah Penyebaran Covid-19, Bisakah Herd Immunity Diterapkan di Indonesia?
Masalah lain, kapasitas tes Covid-19 sangat rendah. Di antara lima besar negara terpadat di dunia, kemampuan tes Covid-19 pemerintah Indonesia paling jelek.
Berdasarkan data Worldometers per Selasa, Indonesia hanya mampu memeriksa 0,6 per 1.000 penduduk. Sementara itu, dari 1.000 penduduk, India sanggup memeriksa 1,2 orang; Pakistan 1,3 orang; Brazil 1,6 orang; dan Amerika Serikat 29 orang.
Di Asia Tenggara, sebagai perbandingan, Filipina memeriksa 1,6 dari 1.000 penduduk. Malaysia memeriksa 8 dari 1.000 penduduk.
Akibat kecilnya jumlah tes oleh pemerintah Indonesia, banyak kasus Covid-19 yang tidak terdeteksi.
Walaupun pemerintah mengonfirmasi 1.007 pasien meninggal akibat Covid-19 pada Selasa, namun ada ribuan pasien lain berstatus suspect (diduga terjangkit) Covid-19 meninggal dunia tanpa terkonfirmasi positif.
Baca juga: Gelombang Kedua Corona, Herd Immunity dan Strategi Indonesia Hadapi Pandemi
Reuters pada 27 April 2020 lalu melaporkan, sudah 2.212 penduduk Indonesia di 16 provinsi meninggal dengan status suspect karena hasil pemeriksaan laboratorium terhadap mereka belum dilakukan, akibat minimnya tes serta antrean panjang pemeriksaan di laboratorium.
Jakarta, misalnya. Sejak awal Maret 2020, tercatat ada 1.940 pemakaman hingga 12 Mei 2020 yang dilakukan dengan standar pemulasaraan jenazah pasien Covid-19. Padahal, jumlah kematian yang terkonfirmasi akibat Covid-19 hanya 457 kasus.
Dengan kemampuan deteksi kasus Covid-19 serendah ini, sulit dipercaya jika pemerintah sampai hati bermaksud menerapkan herd immunity.
“Enggak mungkin (pemerintah berharap pada herd immunity). Bisa menjadi bumerang, makan korban sendiri, karena yang terinfeksi harus lebih dari separuh penduduk. Jumlah penduduk kita ratusan juta. Jumlah kematian kan banyak yang tua-tua. Nanti kita enggak punya kakek atau enggak punya ayah lagi,” ujar Pandu.
Senada, dosen senior di Australian Centre for Precision Health, University of South Australia, Beben Benyamin mengungkapkan hal yang sama.
”Tanpa adanya vaksin yang efektif untuk mencegah Covid-19, mengandalkan terbentuknya herd immunity secara alami layaknya seperti bermain russian roulette. Jutaan nyawa menjadi taruhannya,” kata Beben dalam artikelnya berjudul ”Herd Immunity dan Penanggulangan Covid-19” (Kompas, 13 April 2020).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.