JAKARTA, KOMPAS.com – Pemerintah Indonesia belakangan mulai menggaungkan “hidup berdamai” dengan pandemi Covid-19, yang belum kunjung mampu ditaklukkan.
Ditambah dengan fakta bahwa penemuan vaksin Covid-19 masih lama, “hidup berdamai” seakan menjadi jalan pintas untuk keluar dari masalah.
Dengan menggaungkan istilah baru “the new normal” alias pola hidup baru bersama virus corona, pemerintah mengklaim hal ini tidak serta-merta berarti pelonggaran PSBB.
Juru Bicara Penanganan Covid-19 Indonesia Achmad Yurianto dua hari lalu menyampaikan, dalam konteks new normal, masyarakat diminta mengubah perilaku agar dapat menyesuaikan diri di tengah-tengah sebaran virus corona.
"Bukan menyerah. Berdamai, bukan menyerah. Tetapi kita harus beradaptasi untuk mengubah pola hidup kita, dengan menjalankan protokol kesehatan yang ketat, yang benar, yang berdisiplin. Ini yang kita sebut sebagai pola kehidupan yang baru," ujar Yuri dalam keterangan pers daring di Media Center Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Graha BNPB, Jakarta, Sabtu (16/5/2020).
Baca juga: Pemerintah: Berdamai Bukan Menyerah, tapi Beradaptasi dengan Pola Hidup Baru
"Inilah cara hidup kita yang baru. Cara hidup kita yang selalu membiasakan untuk menjaga kebersihan diri. Selalu membiasakan untuk mencuci tangan dengan menggunakan sabun, menggunakan masker, menghindari kerumunan, dan kemudian kalau tidak perlu tidak keluar dari rumah," jelasnya.
Masalahnya, pola hidup bersih dan sehat terlalu sederhana untuk sebuah negara beralih ke fase new normal.
Badan Kesehatan Dunia alias WHO merilis enam panduan bagi negara-negara yang ingin beralih ke fase new normal. Keenamnya menitikberatkan pada tanggung jawab penuh pemerintah, bukan semata kesadaran masyarakat.
Baca juga: Sering Disebut-sebut, Apa Itu New Normal?
Pertama, negara tersebut harus memiliki bukti bahwa penularan Covid-19 dapat dikendalikan.
Kedua, kapasitas sistem layanan kesehatan termasuk rumah sakit dipastikan sanggup mendeteksi, mengisolasi, memeriksa, dan melacak serta mengarantina orang-orang yang kemungkinan berhubungan dengan pasien Covid-19.
Ketiga, risiko merebaknya wabah sanggup ditekan di lingkungan yang berisiko tinggi, seperti rumah-rumah para lansia hingga tempat-tempat berkerumun.
Keempat, sistem pencegahan di tempat-tempat kerja dapat diukur secara pasti, melalui physical distancing, ketersediaan fasilitas cuci tangan, dan etika batuk/bersin.
Baca juga: Simak, Panduan Protokol Kesehatan Pencegahan Covid-19 untuk Sambut New Normal
Kelima, risiko penularan kasus impor dapat ditangani.
Keenam, komunitas-komunitas/warga bisa “bersuara” (soal pandemi) dan dilibatkan dalam transisi menuju new normal.
Di samping itu, panduan tersebut sebetulnya ditujukan untuk negara-negara Eropa, karena beberapa negara di sana mulai menunjukkan tanda-tanda membaik berdasarkan kajian ilmiah, seperti Spanyol, Italia, Jerman, Perancis, dan Swiss.