Etika tersebut masih dipegang erat oleh para ojek konvensional yang saat ini terdampak pandemi sekalipun. Ada perasaan senasib–nasib getir ketika pemasukan harian masing-masing dari mereka betul-betul terjun bebas dan menghadapi ketidakpastian selalu.
Etika itu pula yang membuat Suwardi dan kolega enggan mencari penumpang di luar pangkalannya, sekalipun pangkalannya kini begitu sepi.
“Di luar kan kagak sembarangan juga kita. Enggak ada namanya ojek konvensional datang (ke area ‘milik’ pangkalan lain) kucuk-kucuk narik penumpang. Mereka kan punya aturan juga. Kami tidak seperti itu,” ungkap dia.
“Mengacu keberadaan kami di sini, pangkalan kami di sini, identitas kami di sini. Tahu sendiri lah, keadaan sama-sama seperti ini,” tutur Suwardi.
Baca juga: Cerita Pengusaha Rental Mobil di Tangsel, Pendapatan Merosot 95 Persen Saat Pandemi Covid-19
Ia kemudian blak-blakan soal keadaan rekan-rekan sejawatnya saat ini. Ada yang betul-betul menganggur di rumah, ada yang membantu istrinya menjual panganan kecil mumpung bulan Ramadhan, ada yang mencari pekerjaan serabutan di luar sana.
Beberapa merasa itu lebih baik ketimbang menghabiskan waktu sekadar buat meunggu penumpang di pangkalan, sedangkan yang dtunggu tak kunjung muncul.
“Banyak yang mereka enggak bisa narik sama sekali. Makanya mereka datang (ke pangkalan) malas juga. Ngapain cuma nongkrong doang, tapi tidak ada penumpang?”
Masalah kian pelik karena rata-rata ojek konvensional terbiasa menjadi tulang punggung keluarga. Suwardi dan rekan tidak hidup sendiri. Ada tanggungan keluarga yang harus dipikirkan.
Pikiran itu kini mencengkeram kepala Suwardi. Puyeng, katanya.
“Bukannya kami enggak mikirin Lebaran atau keluarga. Istri di rumah sudah mengeluh terus. Anak saya kelas 3 SMK, tidak terjangkau untuk saya bayar ujiannya. Tidak kebayar, Mas, Rp 3 juta saja saya tidak bisa bayar,” kata Suwardi.
“Sampai sekarang belum ada solusinya. Makanya saya juga lagi puyeng banget. Sudah begitu anak juga pengin melanjutkan studi (kuliah),” aku dia.
Baca juga: Dipungut Biaya Rapid Test Rp 300.000, Penumpang: Uangnya Hanya Cukup buat Makan
Suwardi bilang, bocah sulungnya kini bersiap menempuh kuliah di salah satu universitas swasta. Ia sudah lulus beberapa tahap pendaftaran dan kini berhadapan dengan satu tahap menentukan: pembayaran biaya daftar.
Namun, impian si sulung terjegal keadaan kocek bapaknya. Dengan penghasilan mentok Rp 30.000 sehari, bagaimana Suwardi bisa melunasi uang pendaftaran masuk kuliah sebesar Rp 2,9 juta yang sedikit lagi jatuh tempo?
Belum lagi, bapaknya juga masih menunggak biaya ujian di SMK si sulung. Surat kelulusan sulung Suwardi hingga kini masih ditahan. Impian si sulung untuk berkuliah dalam ancaman.
“Sampai waktunya sudah ditentukan sekarang saja, saya belum bisa bayar. Makanya saya juga lagi pusing banget. Bingung. Dalam artian, bagaimana ini? Cari solusi ke kanan-kiri juga sudah loss. Blank,” ucap Suwardi.