Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Pilu Suwardi Raup Rp 30.000 dari Ngojek, Sulit Penuhi Biaya Sekolah Si Sulung

Kompas.com - 20/05/2020, 12:16 WIB
Vitorio Mantalean,
Irfan Maullana

Tim Redaksi

DEPOK, KOMPAS.com – “Sehari bisa sekali narik saja sudah bagus,” demikian Suwardi membuka cerita akan kesibukannya sebagai pengemudi ojek konvensional di tengah pandemi Covid-19.

Ungkapan getir Suwardi hanya satu dari sekian banyak jerit tak terdengar para pekerja sektor informal yang terpukul oleh pandemi Covid-19.

Di kalangan ojek konvensional pun, kata Suwardi kepada Kompas.com, bukan hanya dirinya yang nestapa.

Baca juga: Paceklik bagi Ojek Kampus UI, Hilang Pemasukan Sejak Tak Ada Perkuliahan, Kini Dibantu Para Mahasiswa

Ia dan rekan satu aspal yang sehari-hari mangkal di kawasan salah satu kampus di Jabodetabek, lebih sering menghabiskan waktu untuk menanti penumpang.

“Ini hari saya datang jam 09.00. Baru narik tadi jam 13.00. Sampai sekarang belum ada lagi,” ujar Suwardi ketika dihubungi pada Selasa (19/5/2020) sore.

Liburnya aktivitas mahasiswa di kampus tersebut jadi alasan utama pemasukannya amblas. Ditambah lagi para karyawan kampus juga tidak ada yang masuk kerja.

Adapun satu-dua penumpang yang ia angkut setiap hari rata-rata meminta untuk diantar ke stasiun kereta rel listrik (KRL).

Bagi Suwardi, tetap ada hikmah di balik dilarangnya ojek berbasis aplikasi daring membawa penumpang. Kata dia, orang tak punya pilihan lain selain jasa ojek konvensional.

“Bisa dihitung dengan jari lah,” kata dia mengenai order yang diterima setiap ojek saban hari.

Kantongi Rp 30.000

Suwardi mengenang masa-masa sebelum pandemi melanda. Meskipun saat itu keberadaan ojek berbasis aplikasi daring mulai mengikis hegemoni ojek konvensional di kampus itu, tetapi Suwardi mengaku masih bisa memegang setidaknya Rp 100.000 sehari, bersih, sudah dipotong pelbagai ongkos.

Sebab, tak semua mahasiswa menggunakan ojek berbasis aplikasi daring. Banyak di antara mereka yang buru-buru karena terlambat, akhirnya pilih naik ojek konvensional dengan tarif Rp 10.000 sekali jalan.

“Itu saja ojek yang ‘turun’ bisa kuota 40 ojek. Saat ini sejak adanya Covid-19, sehari ‘turun’ 5 motor saja, tidak usah banyak-banyak. Satu ojek paling kebagian dua penumpang sehari. Itu kadang enggak dua juga, kadang-kadang cuma satu,” tutur Suwardi.

Baca juga: Jalani 13 Hari Perawatan, Tukang Ojek PDP Covid-19 Meninggal

“Kalau (mangkal) dari jam 06.00 bisalah kebagian dua kali narik, tapi kalau turunnya baru jam 09.00-10.00, wah,” lanjut dia.

“Rp 30.000 sehari itu sudah besar. Kalau (ojek) yang turun hari ini 8-10 orang, bisa enggak kebagian narik sama sekali,” tambah Suwardi.

Memang, dalam tradisi ojek konvensional, ada aturan tak tertulis bahwa para ojek berhak mengantar penumpang secara bergiliran, sesuai waktu kedatangan di pangkalan.

Etika tersebut masih dipegang erat oleh para ojek konvensional yang saat ini terdampak pandemi sekalipun. Ada perasaan senasib–nasib getir ketika pemasukan harian masing-masing dari mereka betul-betul terjun bebas dan menghadapi ketidakpastian selalu.

Etika itu pula yang membuat Suwardi dan kolega enggan mencari penumpang di luar pangkalannya, sekalipun pangkalannya kini begitu sepi.

“Di luar kan kagak sembarangan juga kita. Enggak ada namanya ojek konvensional datang (ke area ‘milik’ pangkalan lain) kucuk-kucuk narik penumpang. Mereka kan punya aturan juga. Kami tidak seperti itu,” ungkap dia.

“Mengacu keberadaan kami di sini, pangkalan kami di sini, identitas kami di sini. Tahu sendiri lah, keadaan sama-sama seperti ini,” tutur Suwardi.

Baca juga: Cerita Pengusaha Rental Mobil di Tangsel, Pendapatan Merosot 95 Persen Saat Pandemi Covid-19

Ia kemudian blak-blakan soal keadaan rekan-rekan sejawatnya saat ini. Ada yang betul-betul menganggur di rumah, ada yang membantu istrinya menjual panganan kecil mumpung bulan Ramadhan, ada yang mencari pekerjaan serabutan di luar sana.

Beberapa merasa itu lebih baik ketimbang menghabiskan waktu sekadar buat meunggu penumpang di pangkalan, sedangkan yang dtunggu tak kunjung muncul.

“Banyak yang mereka enggak bisa narik sama sekali. Makanya mereka datang (ke pangkalan) malas juga. Ngapain cuma nongkrong doang, tapi tidak ada penumpang?”

Studi anak

Masalah kian pelik karena rata-rata ojek konvensional terbiasa menjadi tulang punggung keluarga. Suwardi dan rekan tidak hidup sendiri. Ada tanggungan keluarga yang harus dipikirkan.

Pikiran itu kini mencengkeram kepala Suwardi. Puyeng, katanya.

“Bukannya kami enggak mikirin Lebaran atau keluarga. Istri di rumah sudah mengeluh terus. Anak saya kelas 3 SMK, tidak terjangkau untuk saya bayar ujiannya. Tidak kebayar, Mas, Rp 3 juta saja saya tidak bisa bayar,” kata Suwardi.

“Sampai sekarang belum ada solusinya. Makanya saya juga lagi puyeng banget. Sudah begitu anak juga pengin melanjutkan studi (kuliah),” aku dia.

Baca juga: Dipungut Biaya Rapid Test Rp 300.000, Penumpang: Uangnya Hanya Cukup buat Makan

Suwardi bilang, bocah sulungnya kini bersiap menempuh kuliah di salah satu universitas swasta. Ia sudah lulus beberapa tahap pendaftaran dan kini berhadapan dengan satu tahap menentukan: pembayaran biaya daftar.

Namun, impian si sulung terjegal keadaan kocek bapaknya. Dengan penghasilan mentok Rp 30.000 sehari, bagaimana Suwardi bisa melunasi uang pendaftaran masuk kuliah sebesar Rp 2,9 juta yang sedikit lagi jatuh tempo?

Belum lagi, bapaknya juga masih menunggak biaya ujian di SMK si sulung. Surat kelulusan sulung Suwardi hingga kini masih ditahan. Impian si sulung untuk berkuliah dalam ancaman.

“Sampai waktunya sudah ditentukan sekarang saja, saya belum bisa bayar. Makanya saya juga lagi pusing banget. Bingung. Dalam artian, bagaimana ini? Cari solusi ke kanan-kiri juga sudah loss. Blank,” ucap Suwardi.

“Pertama yang saya pikirkan ya anak tadi,” lanjut dia.

“Sementara dia pengin daftar kuliah. Saya tidak akan menyalahkan, orangtua mana sih yang tidak ingin anaknya maju?”

“Saya juga usahakan, tapi kan memang keadaannya seperti ini. Tuhan berbicara lain. Saya mau mengeluh sama siapa?” imbuh Suwardi.

Baca juga: Merry Riana Ajak Masyarakat Berhenti Mengeluh di Tengah Pandemi

Itu baru si sulung. Bungsu Suwardi, kata dia, juga menjadi tanggungan yang belum terpikirkan bagaimana cara membayar biaya studinya. Si bungsu bersiap berajak ke kelas VI SD.

“Makanya, kalau satu hari saya cuma bawa pulang uang Rp 10.000, bayangkan.”

Dalam keadaan kalut seperti itu, Suwardi mengaku tak ingin menyalahkan siapa-siapa. Menyalahkan pemerintah? Ia sadar bahwa kas pemerintah juga terbatas dan hanya mampu memberikan bantuan di bawah Rp 1 juta per keluarga, utamanya dalam bentuk sembako.

Ia sendiri tak memperoleh bantuan itu lantaran tak terdaftar sebagai penerima bantuan. Suwardi berujar, dari sekitar 80 ojek yang berbagi pangkalan dengannya, hanya 2 yang terdaftar sebagai penerima bantuan pemerintah.

Menyalahkan warga yang bandel karena tak taat anjuran untuk diam di rumah?

“Ini berlarut-larut kayak gini karena memang masyarakatnya masih bandel. Tapi kenapa mereka bandel ? Karena faktor ekonomi,” ucap Suwardi.

Satu angannya, pandemi ini lekas tuntas, agar motornya bisa segera mengaspal lagi mengantar mahasiswa berkuliah.

Sesuatu yang pada akhirnya mengantar si sulung ke bangku kuliah pula.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Siswa SMP yang Gantung Diri di Jakbar Dikenal Sebagai Atlet Maraton

Siswa SMP yang Gantung Diri di Jakbar Dikenal Sebagai Atlet Maraton

Megapolitan
Detik-detik Mencekam Kebakaran Toko 'Saudara Frame': Berawal dari Percikan Api, Lalu Terdengar Teriakan Korban

Detik-detik Mencekam Kebakaran Toko "Saudara Frame": Berawal dari Percikan Api, Lalu Terdengar Teriakan Korban

Megapolitan
Polisi Periksa Saksi-saksi Terkait Perempuan yang Ditemukan Tewas di Pulau Pari

Polisi Periksa Saksi-saksi Terkait Perempuan yang Ditemukan Tewas di Pulau Pari

Megapolitan
Massa Aksi yang Menuntut MK Adil Terkait Hasil Pemilu 2024 Bakar Ban Sebelum Bubarkan Diri

Massa Aksi yang Menuntut MK Adil Terkait Hasil Pemilu 2024 Bakar Ban Sebelum Bubarkan Diri

Megapolitan
Massa Pendukung Prabowo-Gibran Juga Demo di Patung Kuda, tapi Beberapa Orang Tak Tahu Isi Tuntutan

Massa Pendukung Prabowo-Gibran Juga Demo di Patung Kuda, tapi Beberapa Orang Tak Tahu Isi Tuntutan

Megapolitan
DPC PDI-P: Banyak Kader yang Minder Maju Pilwalkot Bogor 2024

DPC PDI-P: Banyak Kader yang Minder Maju Pilwalkot Bogor 2024

Megapolitan
Siswa SMP di Palmerah Sempat Cekcok dengan Kakak Sebelum Gantung Diri

Siswa SMP di Palmerah Sempat Cekcok dengan Kakak Sebelum Gantung Diri

Megapolitan
Salah Satu Korban Tewas Kebakaran Toko Bingkai 'Saudara Frame' adalah ART Infal yang Bekerja hingga 20 April

Salah Satu Korban Tewas Kebakaran Toko Bingkai "Saudara Frame" adalah ART Infal yang Bekerja hingga 20 April

Megapolitan
Saat Toko 'Saudara Frame' Terbakar, Saksi Dengar Teriakan Minta Tolong dari Lantai Atas

Saat Toko "Saudara Frame" Terbakar, Saksi Dengar Teriakan Minta Tolong dari Lantai Atas

Megapolitan
9 Orang Ambil Formulir Pendaftaran Bakal Calon Wali Kota Bogor Lewat PDI-P

9 Orang Ambil Formulir Pendaftaran Bakal Calon Wali Kota Bogor Lewat PDI-P

Megapolitan
Minta Polisi Periksa Riwayat Pelanggaran Hukum Sopir Fortuner Arogan Berpelat Dinas TNI, Pakar: Agar Jera

Minta Polisi Periksa Riwayat Pelanggaran Hukum Sopir Fortuner Arogan Berpelat Dinas TNI, Pakar: Agar Jera

Megapolitan
Diwarnai Aksi Lempar Botol dan Batu, Unjuk Rasa di Patung Kuda Dijaga Ketat Polisi

Diwarnai Aksi Lempar Botol dan Batu, Unjuk Rasa di Patung Kuda Dijaga Ketat Polisi

Megapolitan
Basarnas Resmikan Unit Siaga SAR di Kota Bogor

Basarnas Resmikan Unit Siaga SAR di Kota Bogor

Megapolitan
Ratusan Orang Tertipu Beasiswa S3 ke Filipina, Total Kerugian Hingga Rp 6 Miliar

Ratusan Orang Tertipu Beasiswa S3 ke Filipina, Total Kerugian Hingga Rp 6 Miliar

Megapolitan
Farhat Abbas Daftar Jadi Bakal Calon Wali Kota Bogor Lewat PDI-P

Farhat Abbas Daftar Jadi Bakal Calon Wali Kota Bogor Lewat PDI-P

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com