JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Kepegawaian Daerah (BKD) DKI Jakarta membantah ada kedinasan yang tunjangannya tidak dipotong sehubungan dengan pandemi Corona Virus Desease 2019 (COVID-19).
"Tidak benar, itu isu sesat. Yang dikecualikan itu bentuknya bukan dinas," kata Kepala BKD DKI Jakarta Chaidir saat dihubungi di Jakarta, Kamis (28/5/2020), seperti dikutip Antara.
Chaidir menyatakan, yang dikecualikan untuk tidak dikenakan potongan tunjangan adalah tenaga kesehatan dan pendukung tenaga kesehatan di RS dan Puskesmas.
Baca juga: Politisi PSI Sayangkan THR TGUPP Tak Dipangkas seperti Tunjangan PNS Pemprov DKI
Kemudian, tenaga pemulasaraan jenazah, petugas data informasi epidemiologi COVID-19, petugas penanganan bencana COVID-19 serta petugas pemakaman COVID-19.
"Jadi bukan dinas yang dilihat. Yang dikecualikan itu diatur dalam pergub," kata Chaidir yang tidak cukup jelas membeberkan acuan regulasinya.
Contoh ada petugas di BKD yang mengerti memandikan jenazah, kemudian ditugaskan sebagai tenaga untuk penanganan COVID-19.
Ada mekanisme, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) mengusulkan petugas yang masuk untuk dikecualikan pada gubernur melalui Sekda DKI.
"Jadi nggak semua tuh BKD dapat tidak ditunda, tetap dipangkas, tapi ada beberapa yang enggak, yaitu yang diusulkan itu," ujar Chaidir.
Baca juga: Anggota DPRD DKI Kembali Desak Anggaran Formula E Dialihkan untuk Atasi Covid-19
Sementara itu, terkait dengan ramainya Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) yang tunjangannya tidak dipotong, Chaidir mengatakan, TGUPP memiliki bentuk belanja kegiatan, bukan belanja pegawai.
"Itu adalah kegiatan dari Bappeda. Jika dalam kegiatan itu memang dimungkinkan ada apresiasi untuk membayar keahlian tenaganya, ya boleh saja," kata Chaidir.
Penundaan tersebut akibat adanya kontraksi ekonomi secara nasional, kemudian atas dasar Surat Keputusan Bersama (SKB) Kemenkeu dan Kemendagri Nomor 119/2813/SJ Nomor 177/KMK.07/2020 tentang Percepatan Penyesuaian APBD Tahun 2020 dalam Rangka Penanganan COVID-19 serta Pengamanan Daya Beli Masyarakat dan Perekonomian Nasional.
Aturan tersebut mengamanatkan tunjangan perbaikan penghasilan daerah tidak boleh lebih tinggi dari tunjangan perbaikan pusat.
Sementara di sisi lain APBD kena kontraksi 53 persen akibat pandemi COVID-19, seluruh pendapatan dari pajak dan lainnya menurun.
Akibatnya komponen APBD mengalami rasionalisasi, di antaranya belanja pegawai, yaitu tunjangan perbaikan penghasilan.
"Itu dimungkinkan karena dia ada di komponen variable cost karena berupa insentif berbeda dengan yang tetap (fix cost) berupa gaji dan tunjangan melekat, itu tidak bisa," katanya.
Baca juga: Saling Lempar, Anggaran Formula E Belum Bisa Ditarik untuk Covid-19