Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Galaunya Ibu Hamil gara-gara Corona...

Kompas.com - 30/05/2020, 05:50 WIB
Ambaranie Nadia Kemala Movanita ,
Nursita Sari

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pandemi Covid-19 menjadi momok di seluruh dunia. Tak terkecuali di Indonesia yang baru mengumumkan kasus pertamanya pada 2 Maret 2020.

Walau banyak yang sembuh, tetapi tidak sedikit pula yang meninggal dunia akibat terinfeksi virus corona.

Kekhawatiran itu juga menular kepada saya, Nursita Sari—reporter Kompas.com, yang kini tengah mengandung tujuh bulan.

Baca juga: Cerita Ibu Hamil Pilih Periksa di Bidan Selama Pandemi Covid-19

Pertengahan Januari 2020, saya memeriksakan diri ke dokter spesialis kandungan di sebuah klinik khusus ibu dan anak di Jakarta Selatan.

Dokter menyatakan saya hamil dengan usia kandungan sembilan minggu, saat itu.

Kondisi saya baik-baik saja, tidak merasa lemas, mual, ataupun muntah-muntah, seperti ibu hamil kebanyakan.

Saya pun menjalani kehamilan kedua saya seperti hari-hari biasanya, bekerja seperti biasa, mengurus pekerjaan rumah, dan kegiatan lainnya.

Kala itu, wabah Covid-19 yang masih bernama pneumonia Wuhan memang sudah menyebar ke beberapa negara di dunia.

Namun, saya masih merasa tenang karena virus corona tipe 2 (SARS-CoV-2) itu tidak masuk ke Indonesia, setidaknya begitu kata pemerintah.

Saya pun kembali memeriksakan kehamilan saya pada bulan berikutnya, tepatnya 29 Februari 2020.

Kali ini saya mencoba kontrol kehamilan ke salah satu rumah sakit, masih di Jakarta Selatan. Saya masih merasa aman saat berkunjung ke rumah sakit.

Kemudian, Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama Covid-19.

Setelah itu, kasus Covid-19 di Indonesia terus bertambah. Jakarta bahkan menjadi episentrum penyebaran Covid-19 di Tanah Air.

Rumah sakit yang menjadi tempat saya kontrol kehamilan ditetapkan sebagai salah satu RS rujukan penanganan Covid-19.

Sejak saat itu, saya merasa khawatir untuk memeriksakan kehamilan saya, apalagi ke rumah sakit tersebut.

Maraknya penyebaran Covid-19 dan kebijakan kerja dari rumah membuat saya tak ingin pergi ke mana pun, termasuk ke rumah sakit atau klinik untuk kontrol kehamilan.

Apalagi, saya punya anak pertama yang masih kecil. Saya khawatir menjadi perantara Covid-19 untuk anak saya.

Pandemi Covid-19 membuat saya tidak berani memeriksakan kehamilan kedua ini selama 2,5 bulan lamanya.

Padahal, seharusnya saya kontrol kehamilan tiap bulan.

Baca juga: Curhat Ibu Hamil di Tengah Pandemi Covid-19, Panik hingga Berencana Melahirkan di Rumah

Saya baru bersedia kontrol kehamilan kembali pada pertengahan Mei lalu, setelah berulang kali dibujuk, bahkan dipaksa suami saya.

Saat itu, saya, ditemani suami, memeriksakan kehamilan di klinik tempat pertama kali saya kontrol.

Bingung mencari tempat bersalin

Setelah bersedia kontrol kehamilan lagi, kekhawatiran saya berikutnya adalah soal tempat bersalin.

Hingga kini, saya masih bingung mencari tempat bersalin. Klinik khusus ibu dan anak bisa menjadi pilihan.

Masalahnya, klinik tersebut tidak melayani persalinan secara caesar. Pihak klinik akan merujuk pasien yang harus melahirkan caesar ke rumah sakit.

Saya tentunya berharap bisa melahirkan dengan persalinan normal, seperti saat melahirkan anak pertama.

Namun, bila keadaan tak sesuai harapan, saya harus melahirkan secara caesar, saya tidak pernah tahu kondisi rumah sakit rujukan klinik tersebut, apakah steril dari Covid-19 atau tidak.

Kondisi itulah yang membuat saya masih bingung mencari tempat bersalin yang saya rasa aman.

Saat ini, saya hanya berharap pandemi Covid-19 sudah berakhir saat hari perkiraan lahir (HPL) anak kedua saya tiba, yakni akhir Agustus 2020 nanti.

Baca juga: Video Viral Sosialisasi Tunda Kehamilan, Kawin Boleh Hamil Jangan, Ini Klarifikasinya

Mengubur angan keliling mal

Juni 2020 menjadi bulan yang paling saya tunggu. Ya, saat itu, saya—sebut saja Nadia—bisa menimang anak yang telah didamba setelah setahun menikah.

Angan mengajaknya berjemur sambil keliling kompleks, cuci mata di mal, hingga mengajaknya melihat keramaian di alun-alun Depok yang baru diresmikan awal tahun ini sudah terbayang di benak.

Namun, di awal Maret 2020, saya tahu bahwa angan itu harus saya pendam.

Sesaat setelah pemerintah mengumumkan ada kasus Covid-19 pertama di Indonesia, apalagi domisilinya sama dengan saya di Depok, rasa cemas pun mendera.

Bagaimana saya menjalani hari-hari dihantui virus corona dengan kondisi hamil begini?

Apalagi, virus menyerang tubuh yang imunnya lemah. Ibu hamil umumnya punya imunitas yang lebih rendah ketimbang manusia yang tidak hamil.

Enggak bisa jalan-jalan dong? Enggak bisa jalan pagi muterin danau UI lagi dong? Enggak bisa nonton di bioskop dong?

Mau enggak mau, selama tiga bulan terakhir, saya benar-benar di rumah saja. Beli kebutuhan pokok pun kebanyakan via online.

Perjalanan terjauh hanya ke klinik tempat kontrol kehamilan yang jaraknya lebih kurang dua kilometer dari rumah.

Urusan cek kehamilan pun sempat membuat saya khawatir. Amankah kalau saya tetap rutin kontrol kandungan setiap bulan?

Sepupu saya yang merupakan seorang dokter menyarankan untuk menunda cek kehamilan jika tidak ada keluhan berarti.

Baca juga: Berstatus PDP, Perawat RS Royal Surabaya Meninggal dalam Kondisi Hamil

Memang, kehamilan saya enggak banyak masalah. Alhamdulillah, keluhannya paling cuma sembelit yang sebenarnya bisa diatasi dengan rutin makan buah dan sayur.

Namun rasa kangennya itu, lho. Kangen lihat layar USG yang menampilkan dedek bayi lagi gerak-gerak. Ada kepalanya, tungkai kakinya, gerakan tangannya, bunyi detak jantungnya....

Untungnya, klinik itu menerapkan protokol yang menurut saya cukup aman. Ruang pemeriksaan kehamilan dipisahkan dengan area kontrol penyakit umum.

Sehingga, yang saya temui hanya ibu hamil. Pendamping (bisa suami atau kerabat) ibu hamil pun tidak diperbolehkan masuk ke ruangan pemeriksaan. Hanya ibu hamil itu sendiri.

Kasihan sih suami, enggak bisa lihat anak joget-joget di perut. Tapi, enggak apa-apa, yang penting tahu kondisi anaknya sehat.

Pada akhirnya, saya tetap menjalani kontrol bulanan. Apalagi, hari perkiraan lahir tinggal hitungan minggu, jadwal kontrol semakin rapat.

Saya memang khawatir, tapi tidak separno itu.

Tolak kunjungan keluarga dan tetangga

Yang menjadi kegalauan saya selanjutnya adalah saat lahiran nanti.

Bukan proses melahirkannya, tapi saat saya membawa bayi ke rumah.

Tahu kan, kalau ada saudara atau tetangga yang baru melahirkan, pasti kita ingin berkunjung untuk menengok si kecil. Atau sekadar kepo dengan cerita si ibu saat melahirkan.

Maunya sih, saya meminta mereka untuk enggak berkunjung dulu. Bahkan ibu saya sendiri pun saya minta untuk jangan dulu ke rumah.

Beliau pun sebenarnya memang sudah mematuhi PSBB dengan baik, keluar rumah paling cuma ke warung sayur.

Tetapi, beliau pasti sedih banget enggak bisa nengokin cucu pertamanya.

Begitu pun dengan mertua yang antusias banget dan rajin nanyain perkembangan dedek bayi dalam kandungan.

Duh, corona. Cepatlah pergi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Komisi A DPRD DKI Desak Pemprov DKI Kejar Kewajiban Pengembang di Jakarta soal Fasos Fasum

Komisi A DPRD DKI Desak Pemprov DKI Kejar Kewajiban Pengembang di Jakarta soal Fasos Fasum

Megapolitan
Sekretaris Pribadi Iriana Jokowi Ambil Formulir Calon Wali Kota Bogor Lewat PDIP, tapi Belum Mengembalikan

Sekretaris Pribadi Iriana Jokowi Ambil Formulir Calon Wali Kota Bogor Lewat PDIP, tapi Belum Mengembalikan

Megapolitan
Tak Bisa Lagi Kerja Berat Jadi Alasan Lupi Tetap Setia Menarik Sampan meski Sepi Penumpang

Tak Bisa Lagi Kerja Berat Jadi Alasan Lupi Tetap Setia Menarik Sampan meski Sepi Penumpang

Megapolitan
Teman Siswa yang Gantung Diri di Palmerah Sebut Korban Tak Suka Cerita Masalah Apa Pun

Teman Siswa yang Gantung Diri di Palmerah Sebut Korban Tak Suka Cerita Masalah Apa Pun

Megapolitan
Demo di Depan Kedubes AS, Koalisi Musisi untuk Palestina Serukan Tiga Tuntutan Sebelum Membubarkan Diri

Demo di Depan Kedubes AS, Koalisi Musisi untuk Palestina Serukan Tiga Tuntutan Sebelum Membubarkan Diri

Megapolitan
Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Botol dan Batu, Polisi: Tak Ada yang Terluka dan Ditangkap

Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Botol dan Batu, Polisi: Tak Ada yang Terluka dan Ditangkap

Megapolitan
Cerita Tukang Ojek Sampan Pelabuhan Sunda Kelapa, Setia Menanti Penumpang di Tengah Sepinya Wisatawan

Cerita Tukang Ojek Sampan Pelabuhan Sunda Kelapa, Setia Menanti Penumpang di Tengah Sepinya Wisatawan

Megapolitan
Pendatang Baru di Jakarta Harus Didata agar Bisa Didorong Urus Pindah Domisili

Pendatang Baru di Jakarta Harus Didata agar Bisa Didorong Urus Pindah Domisili

Megapolitan
Pelaku Dugaan Penipuan Beasiswa S3 ke Filipina Bekerja Sebagai Pengajar di Kampus Jakarta

Pelaku Dugaan Penipuan Beasiswa S3 ke Filipina Bekerja Sebagai Pengajar di Kampus Jakarta

Megapolitan
Bentuk Unit Siaga SAR di Kota Bogor, Basarnas: Untuk Meningkatkan Kecepatan Proses Penyelamatan

Bentuk Unit Siaga SAR di Kota Bogor, Basarnas: Untuk Meningkatkan Kecepatan Proses Penyelamatan

Megapolitan
Aksi Pencurian Kotak Amal di Mushala Sunter Terekam CCTV

Aksi Pencurian Kotak Amal di Mushala Sunter Terekam CCTV

Megapolitan
Siswa SMP yang Gantung Diri di Jakbar Dikenal Sebagai Atlet Maraton

Siswa SMP yang Gantung Diri di Jakbar Dikenal Sebagai Atlet Maraton

Megapolitan
Detik-detik Mencekam Kebakaran Toko 'Saudara Frame': Berawal dari Percikan Api, Lalu Terdengar Teriakan Korban

Detik-detik Mencekam Kebakaran Toko "Saudara Frame": Berawal dari Percikan Api, Lalu Terdengar Teriakan Korban

Megapolitan
Polisi Periksa Saksi-saksi Terkait Perempuan yang Ditemukan Tewas di Pulau Pari

Polisi Periksa Saksi-saksi Terkait Perempuan yang Ditemukan Tewas di Pulau Pari

Megapolitan
Massa Aksi yang Menuntut MK Adil Terkait Hasil Pemilu 2024 Bakar Ban Sebelum Bubarkan Diri

Massa Aksi yang Menuntut MK Adil Terkait Hasil Pemilu 2024 Bakar Ban Sebelum Bubarkan Diri

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com