Namun, tak mudah memperoleh jawaban yang bernas.
"Saya melihat ini ada situasi di mana korban tidak tahu bahwa dirinya sedang dilecehkan karena mereka masih anak-anak, paling kecil 11 tahun," kata Tigor.
"Ketika saya mengobrol dengan orangtuanya, juga orangtuanya kadang tidak ngeh, tidak tahu. Anak-anaknya juga tidak menceritakan ke orangtuanya. Kemudian kalau mereka tahu, ada juga orangtua yang takut dan malu," lanjut dia.
Beruntung, salah satu anak akhirnya mau mengakui pencabulan yang dilakukan oleh SPM terhadap dirinya pada Maret lalu melalui orangtuanya untuk kemudian disampaikan kepada tim investigasi internal gereja.
Dari sana, investigasi terus berkembang dan pengakuan korban-korban lain bermunculan.
Hingga saat ini, Tigor mengaku setidaknya sudah menerima pengakuan 11 anak, enam di antaranya sudah klir, sedangkan lima lainnya masih butuh pemeriksaan lebih dalam.
Dari pendalaman itu, diperoleh dugaan bahwa SPM kerap kali melayangkan paksaan dan ancaman tidak memberikan tugas misdinar anak-anak itu agar menurut saat hendak ia cabuli.
"Sekitar tanggal 22 Mei 2020, ada keluarga korban yang mau melaporkan ke polisi," kata Tigor.
Gereja sepakat bahwa kasus ini harus diproses ke ranah hukum. Pihak gereja kemudian menunjuk Tigor untuk mendampingi pelapor.
"Ini terus berkembang dan kami bikin tim investigasi lebih. Ada psikolog, ada romo (pastor), ada saya di bidang hukum, ada yang biarawati," kata dia.
SPM kini ditahan polisi dan terancam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.