DEPOK, KOMPAS.com - Pemerintah Kota Depok tak mau surut dalam upaya menjadikan Kota Depok sebagai kota religius sebagaimana tercantum dalam visi pasangan wali kota dan wakil wali kotanya: nyaman, unggul, dan religius.
Upaya itu dituangkan dengan sebisa mungkin meloloskan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda Kota Religius ke DPRD. Setelah tahun lalu ditolak karena dianggap mencampuri urusan privat warga, tahun ini Pemkot Depok kembali mengusulkannya ke parlemen raperda itu.
Kali ini, usulan itu lolos ke tahap pembahasan di DPRD Kota Depok meski diwarnai sejumlah kontroversi dalam prosesnya.
Baca juga: Berbeda dari Tahun Lalu, Raperda Depok Kota Religius Kini Tak Atur Etika Berpakaian
Lantas, apakah ada yang berbeda antara usulan Raperda Kota Religius tahun lalu dengan tahun ini?
Tahun lalu, Raperda Kota Religius diusulkan Pemkot Depok ke Badan Musyawarah DPRD dengan rincian pasal-pasal yang problematik.
Sorotan publik begitu deras tahun lalu karena detail raperda itu memberi ruang bagi pemerintah menentukan urusan agama warganya, mulai dari menentukan definisi perbuatan yang dianggap tercela, praktik riba sampai aliran sesat dan perbuatan syirik.
Bahkan, etika berpakaian pun diatur di situ.
Pada Mei 2019, Pemerintah Kota Depok menjelaskan bahwa pasal-pasal itu hasil saduran dari aturan sejenis di Tasikmalaya, Jawa Barat, dan tidak merepresentasikan maksud pemerintah dalam upaya mewujudkan kota religius.
Tahun ini, draf berisi pasal-pasal secara rinci itu tak lagi disertakan. Pemkot Depok hanya mengusulkan garis besar raperda dalam bentuk naskah ringkas/executive summary.
"Hanya executive summary. Secara aturan memang dimungkinkan seperti itu. Bedanya, kali ini draf raperda-nya tidak disertakan. Mungkin disembunyikan," ujar Ketua Badan Pembentukan Perda (Bapemperda) DPRD Kota Depok, Ikravany Hilman, kepada Kompas.com , Kamis (2/7/2020) kemarin.
Dalam naskah ringkas itu, urusan privat warga tak dicampuri terlalu jauh seperti dalam naskah tahun lalu.
Raperda Kota Religius yang diusulkan tahun ini justru terkesan menjamin setiap kegiatan keagamaan di Kota Depok memiliki payung hukum.
Dalam naskah ringkas yang dikirimkan Ikravany kepada Kompas.com, sistematika Raperda Kota Religius terdiri dari 7 bagian.
Baca juga: Rancangan Perda Kota Religius Depok Dianggap Masih Bermasalah
Secara khusus, pada bab II Pemkot Depok menyatakan bahwa raperda ini bertujuan untuk "memberikan landasan secara yuridis dalam upaya memberikan perhatian dan upaya yang lebih luas untuk terwujudnya hal yang dimaksudkan".
Bagian utama ada di bab III dan IV, meskipun patut dicatat bahwa belum ada turunan ketentuan yang saklek untuk bisa dijadikan pegangan, sehingga ketentuan di bawah ini masih multitafsir.
Pada bab III berjudul "Pemeliharaan Keyakinan Beragama", dinyatakan bahwa "pemeliharaan, peningkatan dan penjagaan keyakinan beragama dilakukan oleh seluruh pemeluk agama sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing".
Pemerintah daerah ditugasi untuk memfasilitasi upaya tadi sesuai dengan porsi kewenangannya, porsi kewenangan ini belum diatur sejauh apa.
Lembaga keagamaan juga dapat bantu membina dan membimbing umatnya, dengan pemerintah daerah berperan memfasilitasi sesuai porsi kewenangannya - lagi, porsi kewenangan ini belum diatur sejauh apa.
Kemudian, setiap pengusaha baik perorangan atau badan wajib memberi kesempatan kepada pegawai untuk beribadah sesuai agama masing-masing.
Para pekerja juga harus disediakan sarana ibadah yang layak sesuai ketentuan undang-undang.
Ketentuan penyediaan sarana ibadah yang layak ini juga meliputi tempat-tempat seperti pusat perbelanjaan.
"Pemerintah daerah sesuai kewenangan dan kemampuannya memfasilitasi pengembangan sarana/ prasarana peribadatan, seperti pemberian hibah pembangunan tempat ibadah dan pengembangan sarpras lainnya," tulis raperda itu.
Ada 6 agama yang diakui pemerintah Indonesia, lantas apakah ada 6 sarana ibadah di dalam kantor atau mal?
Hal ini berpotensi jadi masalah di kemudian hari, tetapi ketentuannya belum disinggung sama sekali dalam raperda itu.
Beralih ke bab IV, pemerintah daerah dimungkinkan untuk membina dan memfasilitasi pelaksanaan dan pengembangan pendidikan agama pada satuan pendidikan yang dikelola oleh pemerintah daerah sendiri dan masyarakat. Bentuknya bisa berupa pemberian insentif hingga hibah sarana dan prasarana.
Pemkot Depok menjamin, fasilitas dari pemerintah untuk pendidikan keagamaan bakal meliputi seluruh agama yang diakui.
"Pendidikan keagamaan meliputi pendidikan keagamaan Islam (misal pesantren, TPA/TPQ, diniyah dsb.), Kristen dan Katolik (misal sekolah minggu), Hindu (misal pasraman), Buddha (pabbajja samanera), dan Konghucu (misal shuyuan)," tulis rapaerda itu.
Dalam naskah ringkas raperda ini, Pemkot Depok tak menyatakan apa pun soal mekanisme pembinaan, pengawasan, hingga sanksi administratif.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.