DEPOK, KOMPAS.com – Guntur (bukan nama sebenarnya) mengaku harus beberapa kali meninggalkan pekerjaannya sebagai sopir pengantar barang sejak beberapa bulan lalu.
Ia harus mencari sejumlah alat bukti yang dibutuhkan kepolisian agar kasus pencabulan oleh SPM, bekas pengurus Gereja Santo Herkulanus Depok, Jawa Barat, terhadap anaknya pada Januari-Maret 2020 lalu dapat diproses polisi.
“Saya puluhan hari mencari bukti-bukti sampai tidak kerja dan bagaimana pun caranya kami harus mencari bukti-bukti. Capek,” ujar Guntur kepada Kompas.com pada Minggu (12/7/2020) lalu.
“Ini saja padahal saya tidak sendiri, sudah didukung oleh orang-orang seperti Pak Tigor (Nainggolan, kuasa hukum korban), Suster Marisa, dan pastor Paroki. Kita semua capek dan stres,” imbuhnya.
Ada jeda waktu yang membuat pencarian alat bukti kasus pencabulan yang terjadi di gereja itu kian sulit. Selang waktu itu yakni, antara pencabulan yang terakhir kali dialami anaknya pada 15 Maret 2020, dengan pengakuan si anak pada 22 Mei 2020.
Rentang waktu dua bulan, ditambah pengosongan gereja akibat pandemi Covid-19, membuat korban harus memutar otak ekstrakeras mencari alat bukti. Tanpa alat bukti, mustahil mengirim SPM ke sel tahanan.
“Ini kan pelecehan seksual. Ini tidak ada buktinya. Dari awal, jadi termasuk Romo Paroki juga dan Pak Tigor kemudian Suster Marisa dan saksi korban bersama dengan kami berusaha mencari bukti-bukti,” jelas Guntur.
“Karena barang bukti dalam kasus seperti ini kan hanya omongan saja, pengakuan saja,” tambahnya.
Dari segala macam cara yang dipikirkan, akhirnya Guntur dan tim investigasi internal gereja termasuk kuasa hukum dan pastor paroki bersepakat mengundang SPM ke sebuah forum di Ciawi, Bogor, 6 Juni 2020 lalu.
Saat itu, SPM sudah dilaporkan ke polisi namun belum ditangkap karena minim alat bukti. SPM baru ditangkap 14 Juni 2020.
Di Ciawi, SPM diminta membeberkan semua pencabulan yang ia lakukan. Pengakuan SPM, yang kelak akan menjadi tersangka, akhirnya dijadikan barang bukti untuk polisi.
Masalahnya, satu barang bukti tak cukup untuk memproses kasus ini. Guntur dan tim gereja harus kembali mencari alat bukti lain. Pengakuan dari korban begitu melimpah, tetapi tak dapat dijadikan alat bukti.
Masalah berikutnya, tak seperti pencabulan terhadap anak-anak lain oleh SPM yang dilakukan di mobil pelaku, pencabulan terhadap anak Guntur dilakukan di perpustakaan gereja.
Baca juga: Orangtua Korban: Pengurus Gereja di Depok Juga Suka Umbar Pornografi di Grup WA
Dua bulan gereja dikosongkan dan telah dibersihkan sehubungan dengan pandemi. Kecil kemungkinan alat bukti jejak pencabulan SPM di perpustakaan, jika ada, belum dibuang.
Dalam sebuah sesi rehabilitasi mental, anak Guntur mendadak teringat bahwa kemungkinan terdapat satu alat bukti yang masih tersisa di perpustakaan,