Kapan harga emas sedang naik, di situlah dia menjualnya demi mendulang untung.
"Pertama beli emas dua gram, nanti beli lagi dua gram. Sudah 10 gram saya jual dan beli yang 20 gram, begitu terus. Itu pun kalau lagi punya uang," kata dia.
Pola itu pun dia lakukan terus menerus sejak tahun 1990. Alhasil, dia dapat membayar lunas ongkos naik haji sebesar Rp 25 juta.
Sutaryono sebenarnya tak menyangka bahwa mesin jahit tua miliknya bisa mengantarkan dirinya satu langkah lagi menuju Tanah Suci. Tak terhitung berapa benang yang dia rajut demi mencapai impian itu.
Sambil menghabiskan sigaret krektek terakhirnya, Sutaryono pun berkhayal ke masa di mana pandemi Covid-19 berakhir dan dia dapat melaksanakan ibadah haji sebagaimana mestinya.
"Kalau saya sudah naik haji, saya sudah selesai jadi tukang jahit di sini," kata dia sambil senyum tipis.
Rencana itu seakan sudah matang, tempat dia bertarung dengan keringat dan waktu selama bertahun-tahun akan ditinggalkannya. Pinggir jalan ini hanya akan jadi saksi, bahwa pernah ada seorang penjahit jalan berani bermimpi untuk sentuh Kabah di Tanah Suci.
Namun, mesin jahit kesayangan tak akan ditinggalkan. Aktivitas jahit menjahit pun akan terus dilakukan.
"Saya mau berhenti di jalanan, kalau usahanya mah enggak berhenti. Menjait di rumah saja," tutup dia.
Kini Sutaryono memanjatkan doa untuk 2024. Semoga tahun itu bisa jadi miliknya, di mana dia bisa melengkapi rukun Islam yang kelima.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.