“Kalau dari sisi sejarah budaya Tatar Sunda, kehadiran Jokowi di Bogor ini ada maknanya. Karena Pak Harto (Presiden RI ke-2 Soeharto) saja tidak tidak berani tinggal di Bogor,” kata Indiana.
Ketika Jokowi dan keluarga memilih tinggal di kawasan Istana Bogor, banyak muncul kritik yang dikaitkan dengan biaya atau ongkos mahal dan “merepotkan”. Repot, bagi para menteri atau pejabat pemerintah yang akan menemui presiden bila tempatnya di Bogor.
Selain jauh, juga macet. Sebaliknya, bila Presiden ke istana di Jakarta, juga merepotkan lalu lintas. Semuanya terkait dengan “biaya”.
Lain dengan Bung Karno, lanjut Indiana, menurut penelitian saya, bagi orang Sunda Bogor, Presiden RI pertama itu punya energi spiritual tinggi.
“Bung Karno sangat mengerti sejarah Pasundan,” ujar Indiana.
Sebelum melanjutkan hasil perbincangan dengan Indiana, kita kembali ke bukunya Asti Kleinsteuber. Dalam bukunya yang mendapat kata sambutan dari Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono itu, dilukiskan pula suasana kekejaman penjajahan di masa lalu yang dicetuskan para gubernur jenderal Belanda dari Istana Bogor ini.
Alasan Jokowi tinggal di Bogor, karena Jakarta terlalu ramai dan besar. Sebagai catatan, waktu jadi gubernur DKI Jakarta, ia tinggal di Jakarta.
Sepanjang sejarahnya, Istana Bogor, kediaman pemimpin pemerintah itu, dua kali dihancurkan.
Pertama, tahun 1752, oleh serangan pasukan dari pejuang Banten yang merasa ditindas oleh pemerintahan kaum “pengusaha multi nasional” Belanda bernama VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).
VOC memerintah Indonesia 1602 sampai 1779 (177 tahun atau hampir dua abad).
Penghancuran kedua, 82 tahun kemudian, oleh letusan Gunung Salak setelah pemerintahan kaum pengusaha VOC diambil alih oleh pemerintahan Kerajaan Belanda.
Menurut buku Istana-Istana Kepresidenan di Indonesia yang disusun Asti Kleinteuber itu, pajak terhadap rakyat yang paling kejam berkaitan dengan pimpinan pemerintahan kolonial Belanda yang tinggal di Istana Bogor.
Dikatakan, Gubernur Jenderal Dirk Fock (1921-1926) yang ambisius menindas rakyat dengan bermacam-macam pajak.
Kemudian disusul pemerintahan Gubernur Jenderal PC De Jonge (1931-1936) yang picik dan bertangan besi. Demikian kata buku itu (halaman 133).
De Jonge membuang para pejuang kemerdekaan, seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir beserta kawan-kawannya ke berbagai tempat di Indonesia, di luar Jawa.
Tempat untuk Istana Bogor ini, Kampoeng Baroe mula-mula diketemukan tahun 1744 di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Belanda VOC Gustaaf Willem Baron van Imhoff (1743-1750).
Ia yang memerintahkan dibangun tempat peristirahatan bernama Buitenzorg (bebas masalah).
Kemudian, Gubernur Jenderal Jacob Mossel (1750 - 1761) melanjutkan pembangunan di tempat itu.
Tapi tahun 1752, bangunan tersebut dihancurkan dalam perang antara pasukan VOC dengan pasukan Kesultanan Banten di bawah Kiai Tapa dan Ratu Bagus Buang. Pembangunan kembali dilakukan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendles (1808 - 18011).
Ketika Letnan Jenderal Thomas Stamford Raffles memerintah (1811 -1816), diadakan banyak pembangunan, termasuk pembangunan Kebun Raya Bogor.