Sampai beberapa hari lalu saya belum begitu mengerti arti kosa kata Sunda, seperti kanuragan, kabuyutan, dangiang dan niskala.
Setiap saya tanya kepada para karyawan istana itu, mereka semua selalu mengatakan, “Saya mau betem (diam) saja kalau ditanya itu”.
Dari desertasi Indiana Ngenget saya baru tahu arti akademis kosa kata itu. Kanuragan artinya kesaktian. Kabuyutan, punya pengertian sebagai tempat keramat, sakral untuk fungsi yang berbeda-beda, sebagai pekuburan leluhur, tempat pemujaan, tempat mandala (pendidikan atau pelatihan) dan seterusnya. Niskala, dunia gaib. Dangiang, pusat sakral.
Menurut Indiana Ngenget, Bung Karno punya wasiat untuk dimakamkan di Batu Tulis Bogor. “Tapi malah dimakamkan di Blitar,” ujar Indiana.
Ketika Indiana mengadakan penelitian untuk penyusunan disertasinya “Kekuasaan Dalam Pemikiran Politik Sunda Tradisional” delapan tahun lalu, ia banyak menjumpai sejumlah tokoh Sunda, termasuk yang ada di Bogor. Sebagian besar dari mereka masih mempersoalkan tempat pemakaman Bung Karno (di Blitar) itu.
Keputusan pemakaman Bung Karno di Blitar diambil sendiri oleh Soeharto, walaupun beberapa orang dari pihak keluarga Bung Karno tidak setuju. “
“Andaikata kita serahkan kepada keluarga besar yang ditinggalkannya, maka saya melihat bakal repot.......Maka saya tetapkan bahwa alangkah baiknya kalau Bung Karno dimakamkan di dekat makam ibunya, di Blitar.”
Demikian kata Soeharto dalam buku “Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya -Otobiografi seperti dipaparkan kepada G.Dwipayana dan Ramadhan K.H.”
Keberanian Presiden Joko Widodo untuk memilih tinggal di Bogor ini menarik bila dilihat dari peristiwa pemilihan presiden 2019. Dalam Pilpres ini, kata Indiana, sebagian besar orang di Jawa Barat, termasuk Bogor tidak memilih Jokowi.
“Ini baru saya teliti,” ujar Indiana.
Kembali pembicaraan tentang “keangkeran” istana kepresidenan yang berkaitan dengan hantu atau jin. Bukan hanya di Istana Bogor yang angker, tapi juga di Jakarta, Istana Negara dan Istana Merdeka.
Dalam bukunya berjudul “Biografi Gus Dur”, Greg Barton dan menyebutkan tentang hantu istana kepresidenan. Dalam terbitan pertama dalam Bahasa Indonesia (2003), Greg Barton di halaman 356, antara lain mencatatat kebiasaan Soeharto semalam sebelum upacara Hari Kemerdekaan 17 Agustus di istana.
“Biasanya Soeharto menghabiskan sebagian dari malam Hari Kemerdekaan 17 Agustus di istana. Tapi jelas ia tidak betah di sini dan takut akan hantu-hantunya, baik dalam arti sebenarnya ataupun kiasan,” demikian Greg Barton.
“Sebelum Gus Dur sekeluarga dapat pindah ke istana, mereka dihentikan di pintu masuk dan diberitahu bahwa mereka harus bernegosiasi dengan orang halus penjaga istana. Mereka yang percaya akan hal-hal seperti ini segera percaya di istana ini ada hantunya.”
Ini masih catatan Greg Barton yang merupakan sahabat Gus Dur.
Greg Barton melanjutkan tulisannya, “Segera, setelah pindah ke istana, Gus Dur berkomentar tanpa basa-basi bahwa kamar itu dihuni orang halus”.
Dalam sebuah acara webinar belum lama ini, Inayah, salah satu puteri Gus Dur ditanya soal pengalamannya dengan “hantu istana” itu. Apakah Inayah tidak takut?