Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Joseph Osdar
Kolumnis

Mantan wartawan harian Kompas. Kolumnis 

Istana Bogor yang Angker

Kompas.com - 27/07/2020, 17:07 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

“Menurut dongeng, istana kepresidenan di Bogor adalah bangunan yang angker, terutama Ruang Raja. Ini mungkin karena sejak zaman para gubernur jenderal di sudut-sudut tertentu istana selalu diberi sesajen. Setiap kali akan mengadakan acara, para karyawan atau pegawai minta izin kepada Mbah Jepra yang dimakamkan di Kebun Raya Bogor”.

TIGA kalimat panjang di atas, di awal artikel ini, saya kutip langsung dari buku tulisan Asti Kleinsteuber berjudul Istana-Istana Kepresidenan di Indonesia - Peninggalan Sejarah dan Budaya - States Palaces In Indonesia - Historical And Cultural Heritage (2010 halaman 137).

Ruang Raja adalah kamar tidur utama di bangunan induk Istana Bogor. Disebut Ruang Raja, karena konon, kamar itu disediakan (secara mistis) untuk para raja Kerajaan Pajajaran di Pakuan (Bogor).

Soal hal mistis di istana-istana kepresidenan di Indonesia merupakan cerita sehari-hari di kalangan para wartawan yang bertugas di istana dan pegawai istana (ada yang semenjak zaman Bung Karno).

Khusus soal Istana di Bogor, saya tanyakan hal ini kepada pakar budaya politik Sunda tradisional, Dr Indiana Ngenget (55), yang dilahirkan di Bogor dan tinggal di kota itu sampai saat ini.

Saat ini ia masih banyak mengadakan penelitian tentang budaya kekuasaan politik Sunda tradisional di seluruh Pasundan.

Di Kebun Raya Bogor ada makam yang kerap disambangi orang Sunda untuk ziarah. Yang dimakamkan di situ dikenal sebagai Mbah Jepra. Ada dua makam lain di sekitar makam Mbah Jepra.

Siapakah Mbah Jepra?

“Saya sering ke makam itu tapi sampai sekarang belum menemukan prasasti atau naskah tertulis,” ujar Indiana.

Indiana Ngenget lahir di Desa Cikupa, Kecamatan Situdaun, Bogor barat, Jawa Barat 1965. Ia mendapat gelar doktor bidang politik dari Universitas Indonesia (UI) Jakarta, 13 Januari 2013.

Ia membuat disertasi berjudul Kekuasaan Dalam Pemikiran Politik Sunda Tradisional. Selama tujuh tahun terakhir ini, selain mengajar bidang politik, komunikasi dan hubungan internasional di Institut Ilmu Sosial dan Politik (IISIP) Jakarta, Indiana Ngenget masih melanjutkan penelitian tentang budaya politik Sunda kontemporer.

Ia rajin juga meneliti prasasti Batutulis yang ada di seberang Istana Batutulis, Bogor.

“Di situ ada prasasti/naskah-naskah kuno tentang pengukuhan Raja Surawisesa sebagai Sri Baduga Maharaja (1482 - 1521) di Pakuan Bogor,” kata Indiana.

Menurut Indiana, Tanah (Tatar) Sunda di Bogor ini erat kaitannya dengan Mitos Prabu Siliwangi.

Kalau tentang Mbah Jepra, secara tradisi lisan banyak dikaitkan dengan dengan sejarah Prabu Siliwangi dan Tatar Sunda di Bogor.

“Tapi hal ini masih saya teliti dan pelajari,” kata Indiana.

Indiana yang banyak mempelajari sejarah “mistis dan supranatural” Prabu Siliwangi dalam sejarah Tatar Sunda, mengatakan, “Yang paling menarik adalah keberanian Jokowi (Presiden Joko Widodo) untuk tinggal di Istana Bogor.”

 

Presiden Joko Widodo menyampaikan keterangan pers terkait penangangan COVID-19 di Istana Bogor, Jawa Barat, Minggu (15/3/2020). Presiden meminta agar masyarakat Indonesia bekerja, belajar dan beribadah di rumah serta tetap tenang, tidak panik, tetap produktif agar penyebaran COVID-19 ini bisa dihambat dan diberhentikan. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/pras.ANTARAFOTO/SIGID KURNIAWAN Presiden Joko Widodo menyampaikan keterangan pers terkait penangangan COVID-19 di Istana Bogor, Jawa Barat, Minggu (15/3/2020). Presiden meminta agar masyarakat Indonesia bekerja, belajar dan beribadah di rumah serta tetap tenang, tidak panik, tetap produktif agar penyebaran COVID-19 ini bisa dihambat dan diberhentikan. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/pras.

“Kalau dari sisi sejarah budaya Tatar Sunda, kehadiran Jokowi di Bogor ini ada maknanya. Karena Pak Harto (Presiden RI ke-2 Soeharto) saja tidak tidak berani tinggal di Bogor,” kata Indiana.

Ketika Jokowi dan keluarga memilih tinggal di kawasan Istana Bogor, banyak muncul kritik yang dikaitkan dengan biaya atau ongkos mahal dan “merepotkan”. Repot, bagi para menteri atau pejabat pemerintah yang akan menemui presiden bila tempatnya di Bogor.

Selain jauh, juga macet. Sebaliknya, bila Presiden ke istana di Jakarta, juga merepotkan lalu lintas. Semuanya terkait dengan “biaya”.

Lain dengan Bung Karno, lanjut Indiana, menurut penelitian saya, bagi orang Sunda Bogor, Presiden RI pertama itu punya energi spiritual tinggi.

“Bung Karno sangat mengerti sejarah Pasundan,” ujar Indiana.

Sebelum melanjutkan hasil perbincangan dengan Indiana, kita kembali ke bukunya Asti Kleinsteuber. Dalam bukunya yang mendapat kata sambutan dari Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono itu, dilukiskan pula suasana kekejaman penjajahan di masa lalu yang dicetuskan para gubernur jenderal Belanda dari Istana Bogor ini.

Alasan Jokowi tinggal di Bogor, karena Jakarta terlalu ramai dan besar. Sebagai catatan, waktu jadi gubernur DKI Jakarta, ia tinggal di Jakarta.

Sejarah Istana Bogor

Sepanjang sejarahnya, Istana Bogor, kediaman pemimpin pemerintah itu, dua kali dihancurkan.

Pertama, tahun 1752, oleh serangan pasukan dari pejuang Banten yang merasa ditindas oleh pemerintahan kaum “pengusaha multi nasional” Belanda bernama VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).

VOC memerintah Indonesia 1602 sampai 1779 (177 tahun atau hampir dua abad).

Penghancuran kedua, 82 tahun kemudian, oleh letusan Gunung Salak setelah pemerintahan kaum pengusaha VOC diambil alih oleh pemerintahan Kerajaan Belanda.

Menurut buku Istana-Istana Kepresidenan di Indonesia yang disusun Asti Kleinteuber itu, pajak terhadap rakyat yang paling kejam berkaitan dengan pimpinan pemerintahan kolonial Belanda yang tinggal di Istana Bogor.

Dikatakan, Gubernur Jenderal Dirk Fock (1921-1926) yang ambisius menindas rakyat dengan bermacam-macam pajak.

Kemudian disusul pemerintahan Gubernur Jenderal PC De Jonge (1931-1936) yang picik dan bertangan besi. Demikian kata buku itu (halaman 133).

De Jonge membuang para pejuang kemerdekaan, seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir beserta kawan-kawannya ke berbagai tempat di Indonesia, di luar Jawa.

Tempat untuk Istana Bogor ini, Kampoeng Baroe mula-mula diketemukan tahun 1744 di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Belanda VOC Gustaaf Willem Baron van Imhoff (1743-1750).

Ia yang memerintahkan dibangun tempat peristirahatan bernama Buitenzorg (bebas masalah).
Kemudian, Gubernur Jenderal Jacob Mossel (1750 - 1761) melanjutkan pembangunan di tempat itu.

Tapi tahun 1752, bangunan tersebut dihancurkan dalam perang antara pasukan VOC dengan pasukan Kesultanan Banten di bawah Kiai Tapa dan Ratu Bagus Buang. Pembangunan kembali dilakukan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendles (1808 - 18011).

Ketika Letnan Jenderal Thomas Stamford Raffles memerintah (1811 -1816), diadakan banyak pembangunan, termasuk pembangunan Kebun Raya Bogor.

Sekelompok rusa di halaman Istana Bogor.SHUTTERSTOCK Sekelompok rusa di halaman Istana Bogor.

Tapi tanggal 10 Oktober 1834, Gunung Salak meletus dan menghancurkan bangunan istana Bogor yang bertingkat. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Albertus Duijmajer van Twist (1851-1856) dibangun kembali istana berlantai satu untuk menghadapi kemungkinan gempa.

Sejak 1870 di masa Gubernur Jenderal Charles FP de Montager, Istana Bogor dijadikan kediaman resmi gubernur jenderal Belanda.

Sejak tahun 1870 sampai 1942 Istana Bogor dijadikan kediaman resmi 38 gubernur jenderal Belanda.

Pembangunan Istana Bogor dari pemerintah Belanda ini ada yang memperhatikan situs-situs peninggalan para raja Kerajaan Pajajaran (paling tidak ada enam raja, 1482-1579). Tapi juga ada yang tidak mengindahkan tempat-tempat yang dianggap keramat dari Prabu Siliwangi.

Setelah era Belanda

Ketika tentara penjajah Jepang masuk Indonesia, 1942, Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborg Stachouwer menyerahkan kekuasaanya kepada Jenderal Imamura. Penjajah fasis Jepang menggunakan istana ini menjadi markas tentara dan tidak dipelihara keindahannya.

Bangunan-bangunan ada yang dicat hitam dan dijadikan penjara perang. Kijang-kijang dipotong untuk dimakan para tentara.

Setelah proklamasi kemerdekaan RI 1945, 200 orang pemuda anggota Barisan Keamanan Rakyat (BKR) merebut Istana Bogor dari tangan tentara Jepang.

Tapi ketika pasukan Sekutu yang diboncengi Belanda masuk Indonesia lagi, tentara bayaran, Gurkha, merebut Istana Bogor dari BKR. Perebutan ini tentu makan korban.

Baru 1949, setelah Belanda resmi mengakui kemerdekan RI, di Istana Bogor diadakan beberapa pembangunan, renovasi dan perbaikan oleh pemerintahan Bung Karno.

Menjelang 1960, Bung Karno menjadikan Istana Bogor sebagai kediaman resmi presiden. Hari Jumat, Sabtu dan Minggu Bung Karno tinggal di Istana Bogor.

Demikian sejarah Istana Bogor menurut buku Asti Kleinsteuber yang juga diberi sekapur sirih atau “sepatah kata” dari Prof Edi Sedyawati, arkeolog, pengajar, dan Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1993-1999).

Mitos tentang Bung Karno

Membaca buku ini dan disertasi Indiana Ngenget (termasuk wawancara saya dengan orang Bogor ini), saya jadi ingat cerita dari para karyawan Istana Bogor (orang-orang Sunda) yang bekerja sejak masa Bung Karno. Para orang tua para karyawan itu sebagian besar adalah juga bekerja di Istana Bogor di masa Bung Karno.

Kalau mereka bercerita tentang Bung Karno, terutama bila sedang berada di halaman istana, rasanya seperti sedang mendengar seribu kisah mitos dan legenda. Apalagi hubungan Bung Karno dengan hewan-hewan yang ada di situ, seperti rusa dan burung-burung.

“Bila Pak Karno berjalan di halaman, rusa-rusa dan burung-burung mengerumuni. Ada yang minta dielus-elus. Pak Karno punya kanuragan, hormat pada niskala dan mengerti kepada kabuyutan, dangiang Sunda,” demikian kata mereka pada saya ketika saya meliput acara di Istana Bogor di masa pemerintahan Soeharto.

Presiden SoekarnoKOMPAS/SONG Presiden Soekarno

Sampai beberapa hari lalu saya belum begitu mengerti arti kosa kata Sunda, seperti kanuragan, kabuyutan, dangiang dan niskala.

Setiap saya tanya kepada para karyawan istana itu, mereka semua selalu mengatakan, “Saya mau betem (diam) saja kalau ditanya itu”.

Dari desertasi Indiana Ngenget saya baru tahu arti akademis kosa kata itu. Kanuragan artinya kesaktian. Kabuyutan, punya pengertian sebagai tempat keramat, sakral untuk fungsi yang berbeda-beda, sebagai pekuburan leluhur, tempat pemujaan, tempat mandala (pendidikan atau pelatihan) dan seterusnya. Niskala, dunia gaib. Dangiang, pusat sakral.

Wasiat Bung Karno

Menurut Indiana Ngenget, Bung Karno punya wasiat untuk dimakamkan di Batu Tulis Bogor. “Tapi malah dimakamkan di Blitar,” ujar Indiana.

Ketika Indiana mengadakan penelitian untuk penyusunan disertasinya “Kekuasaan Dalam Pemikiran Politik Sunda Tradisional” delapan tahun lalu, ia banyak menjumpai sejumlah tokoh Sunda, termasuk yang ada di Bogor. Sebagian besar dari mereka masih mempersoalkan tempat pemakaman Bung Karno (di Blitar) itu.

Keputusan pemakaman Bung Karno di Blitar diambil sendiri oleh Soeharto, walaupun beberapa orang dari pihak keluarga Bung Karno tidak setuju. “

“Andaikata kita serahkan kepada keluarga besar yang ditinggalkannya, maka saya melihat bakal repot.......Maka saya tetapkan bahwa alangkah baiknya kalau Bung Karno dimakamkan di dekat makam ibunya, di Blitar.”

Demikian kata Soeharto dalam buku “Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya -Otobiografi seperti dipaparkan kepada G.Dwipayana dan Ramadhan K.H.”

Keberanian Presiden Joko Widodo untuk memilih tinggal di Bogor ini menarik bila dilihat dari peristiwa pemilihan presiden 2019. Dalam Pilpres ini, kata Indiana, sebagian besar orang di Jawa Barat, termasuk Bogor tidak memilih Jokowi.

“Ini baru saya teliti,” ujar Indiana.

Istana kepresidenan yang angker

Kembali pembicaraan tentang “keangkeran” istana kepresidenan yang berkaitan dengan hantu atau jin. Bukan hanya di Istana Bogor yang angker, tapi juga di Jakarta, Istana Negara dan Istana Merdeka.

Dalam bukunya berjudul “Biografi Gus Dur”, Greg Barton dan menyebutkan tentang hantu istana kepresidenan. Dalam terbitan pertama dalam Bahasa Indonesia (2003), Greg Barton di halaman 356, antara lain mencatatat kebiasaan Soeharto semalam sebelum upacara Hari Kemerdekaan 17 Agustus di istana.

“Biasanya Soeharto menghabiskan sebagian dari malam Hari Kemerdekaan 17 Agustus di istana. Tapi jelas ia tidak betah di sini dan takut akan hantu-hantunya, baik dalam arti sebenarnya ataupun kiasan,” demikian Greg Barton.

“Sebelum Gus Dur sekeluarga dapat pindah ke istana, mereka dihentikan di pintu masuk dan diberitahu bahwa mereka harus bernegosiasi dengan orang halus penjaga istana. Mereka yang percaya akan hal-hal seperti ini segera percaya di istana ini ada hantunya.”

Ini masih catatan Greg Barton yang merupakan sahabat Gus Dur.

Greg Barton melanjutkan tulisannya, “Segera, setelah pindah ke istana, Gus Dur berkomentar tanpa basa-basi bahwa kamar itu dihuni orang halus”.

Dalam sebuah acara webinar belum lama ini, Inayah, salah satu puteri Gus Dur ditanya soal pengalamannya dengan “hantu istana” itu. Apakah Inayah tidak takut?

[ARSIP FOTO] Mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mendengarkan pertanyaan wartawan saat menyampaikan Catatan Kritis Akhir Tahun di Jakarta, Selasa (26/12/2006).KOMPAS / TOTOK WIJAYANTO [ARSIP FOTO] Mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mendengarkan pertanyaan wartawan saat menyampaikan Catatan Kritis Akhir Tahun di Jakarta, Selasa (26/12/2006).

“Kami sekeluarga sudah terbiasa dengan 'hantu-hantu' semenjak kemenangan Gus Dur dalam Muktamar Nahdlatul Ulama di Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, awal Desember 1994,” kata Inayah sambil tertawa.

Tentu yang dimaksud Inayah dengan “hantu-hantu” paska Muktamar NU Cipasung itu adalah para kaki tangan regim penguasa yang tidak ingin Gus Dur terpilih kembali jadi ketua umum PB NU. Hantu-hantu merupakan kiasan.

Soimah pun tertawa

Lalu mengapa Jokowi memilih tinggal di kawasan atau kompleks Istana Bogor ? Koran Tribun Jakarta, Kamis 13 Desember 2018, pernah memberitakan hal berkaitan dengan itu dengan judul “Terkuak, Ini alasan Jokowi pilih paviliun ketimbang istana sebagai tempat tinggal di kota hujan”

Berita itu menulis, “Namun siapa sangka, sejak Presiden Jokowi dan keluarga tinggal di Istana Bogor, justru paviliun bernama Bayurini lah yang didiami Jokowi dan keluarga.”

Dari kalimat ini belum jelas kenapa memilih di Istana Bogor dan bukan Istana di Jakarta.

“Di istana Bogor itu bukan di istananya tapi rumah kecil di pojokan,” ujar Jokowi yang sama sekali tidak menjelaskan mengapa pilih kawasan Istana Bogor.

Berita itu samasekali tidak “menguak” alasan apapun kecuali untuk mempertunjukan, sebuah pilihan tempat tinggal yang sederhana ?

Paviliun Bayurini atau Wisma Dyah Bayurini dibangun tahun 1964, semasa pemerintahan Bung Karno. Tahun 1954, Bung Karno telah mendirikan di kawasan Istana Bogor, lima paviliun terpisah dari bangunan utama, yakni paviliun Amarta, Madukara, Pringgodani, Dwarawati, dan Yodipati. Bila berada di Istana Bogor, Bung Karno menginap di paviliun Amarta.

Awal tahun 1990-an, saya pernah menyaksikan Ny Tien Soeharto mengajak para cucunya bercengkerama di Wisma Dyah Bayurini.

Hari Minggu 17 Frebuari 2019 lalu, Jokowi sambil mengemudikan mobil golf menjelaskan alasannya mengapa ia tinggal di Istana Bogor. Di mobil golf yang berkeliling kawasan istana Bogor itu ada Ny Iriana Joko Widodo dan host juri Liga Dangdut Indonesia (LIGA), yakni Soimah, Ramzi dan Gilang Dirga.

Soimah tertawa “ngakak” mendengar alasan Jokowi. Soimah bilang, bisa-bisa profesi lawak “tidak laku” karena ucapan Jokowi yang jenaka.

Jokowi mengatakan stelah dilantik ia sempat tinggal di Istana Negara, Jakarta. Tapi kemudian pindah ke Istana Bogor karena menurutnya, Jakarta terlalu besar dan ramai. Di kawasan Istana Bogor, kata Jokowi, ia memilih paviliun, bukan di gedung utama.

Katanya, kalau di gedung utama istana, “Saya mau memanggil Bu Jokowi, buuuuuu”. Jokowi mengatakan itu dengan peragaan tangan melambai dengan mimik wajah jenaka.

Soimah pun tertawa terbahak. “Jangan lucu-lucu, Pak. Bahaya, nanti profesi kita (tersaing sebagai pelawak). Hal ini saya ambil dari berita Suara.com, 17 Frebuari 2019). Ayoooo ngguyuuuuu (mari tartawa). 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pembunuh Perempuan di Pulau Pari Mengaku Menyesal

Pembunuh Perempuan di Pulau Pari Mengaku Menyesal

Megapolitan
Disdukcapil DKI Bakal Pakai 'SMS Blast' untuk Ingatkan Warga Terdampak Penonaktifan NIK

Disdukcapil DKI Bakal Pakai "SMS Blast" untuk Ingatkan Warga Terdampak Penonaktifan NIK

Megapolitan
Sesosok Mayat Ditemukan di Dalam Koper Hitam di Cikarang Bekasi

Sesosok Mayat Ditemukan di Dalam Koper Hitam di Cikarang Bekasi

Megapolitan
Warga Rusunawa Muara Baru Keluhkan Biaya Sewa yang Naik

Warga Rusunawa Muara Baru Keluhkan Biaya Sewa yang Naik

Megapolitan
8.112 NIK di Jaksel Telah Diusulkan ke Kemendagri untuk Dinonaktifkan

8.112 NIK di Jaksel Telah Diusulkan ke Kemendagri untuk Dinonaktifkan

Megapolitan
Heru Budi Bertolak ke Jepang Bareng Menhub, Jalin Kerja Sama untuk Pembangunan Jakarta Berkonsep TOD

Heru Budi Bertolak ke Jepang Bareng Menhub, Jalin Kerja Sama untuk Pembangunan Jakarta Berkonsep TOD

Megapolitan
Mau Maju Jadi Cawalkot Bogor, Wakil Ketua DPRD Singgung Program Usulannya Tak Pernah Terealisasi

Mau Maju Jadi Cawalkot Bogor, Wakil Ketua DPRD Singgung Program Usulannya Tak Pernah Terealisasi

Megapolitan
Seorang Anggota TNI Meninggal Tersambar Petir di Cilangkap, Telinga Korban Pendarahan

Seorang Anggota TNI Meninggal Tersambar Petir di Cilangkap, Telinga Korban Pendarahan

Megapolitan
Harga Bawang Merah di Pasar Senen Blok III Naik Dua Kali Lipat sejak Lebaran

Harga Bawang Merah di Pasar Senen Blok III Naik Dua Kali Lipat sejak Lebaran

Megapolitan
Dua Anggota TNI yang Tersambar Petir di Cilangkap Sedang Berteduh di Bawah Pohon

Dua Anggota TNI yang Tersambar Petir di Cilangkap Sedang Berteduh di Bawah Pohon

Megapolitan
Imam Budi Hartono dan Partai Golkar Jalin Komunikasi Intens untuk Pilkada Depok 2024

Imam Budi Hartono dan Partai Golkar Jalin Komunikasi Intens untuk Pilkada Depok 2024

Megapolitan
Pembunuh Wanita 'Open BO' di Pulau Pari Baru 2 Bulan Indekos di Bekasi

Pembunuh Wanita "Open BO" di Pulau Pari Baru 2 Bulan Indekos di Bekasi

Megapolitan
Dua Anggota TNI Tersambar Petir di Cilangkap, Satu Orang Meninggal Dunia

Dua Anggota TNI Tersambar Petir di Cilangkap, Satu Orang Meninggal Dunia

Megapolitan
Pasien DBD Meningkat, PMI Jakbar Minta Masyarakat Gencar Jadi Donor Darah

Pasien DBD Meningkat, PMI Jakbar Minta Masyarakat Gencar Jadi Donor Darah

Megapolitan
Sembilan Tahun Tempati Rusunawa Muara Baru, Warga Berharap Bisa Jadi Hak Milik

Sembilan Tahun Tempati Rusunawa Muara Baru, Warga Berharap Bisa Jadi Hak Milik

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com