JAKARTA, KOMPAS.com - Pemprov DKI Jakarta memberlakukan kembali sistem pembatasan kendaraan berdasarkan nomor pelat ganjil dan genap di 25 ruas jalan Ibu Kota mulai Senin (3/8/2020) pagi.
Sistem itu dicabut sementara dalam beberapa bulan terakhir bersamaan dengan penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk mencegah Covid-19.
Sistem ganjil genap berlaku setiap hari kerja, yakni Senin-Jumat, pada pagi pukul 06.00 WIB-10.00 WIB dan sore ke malam pukul 16.00 WIB-21.00 WIB.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputro menyatakan, sistem ganjil genap telah dirancang sebagai kebijakan rem darurat karena kasus Covid-19 melonjak dan muncul klaster di Jakarta.
Baca juga: Ombudsman Jakarta: Penerapan Ganjil Genap Tergesa-gesa dan Bisa Timbulkan Klaster Baru
Selain itu, sistem ganjil genap diprediksi akan cukup efektif memaksa perkantoran menerapkan sistem kerja maksimal diisi 50 persen karyawan yang selama ini kurang efektif.
Di luar alasan itu, volume kendaraan di jalanan Jakarta saat ini disebut telah melampaui kepadatan sebelum pandemi sehingga Pemprov DKI Jakarta memutuskan menerapkan kembali sistem ganjil genap.
"Di kawasan Senayan, Jalan Sudirman, rata-rata volume lalu lintas sebelum pandemi sekitar 127.000 (kendaraan per hari), saat ini kondisi telah terlampaui menjadi 145.000," kata Syafrin dalam konferensi pers di Bundaran HI, Jakarta Pusat, Minggu kemarin.
Pengamat kebijakan transportasi, Azas Tigor Nainggolan, berpandangan, ada sejumlah penyebab kembali melonjaknya volume kendaraan di Jakarta, khususnya mobil pribadi yang menjadi sasaran kebijakan ganjil genap.
"Jika dikatakan ada kemacetan Jakarta yang melebihi kemacetan pada masa normal, bisa jadi ada ketidakseimbangan antara supply (pasokan) dan demand (permintaan) dalam penggunaan layanan angkutan umum di Jabodetabek," kata Tigor kepada Kompas.com via keterangan tertulis, Minggu malam.
"Para pekerja di Jakarta banyak juga yang bertempat tinggal di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Terjadi lonjakan penggunaan kendaraan pribadi ke Jakarta dan di Jakarta karena ketersediaan layanan angkutan umumnya kurang, sementara jumlah penggunanya lebih tinggi," tambahnya.
Selain faktor tidak seimbangnya pasokan dan kebutuhan kendaraan umum menuju Jakarta, penggunaan kendaraan pribadi dianggap lebih aman di tengah pandemi saat ini.
Potensi berdesakan di kendaraan umum tentu rentan mempermudah penularan Covid-19 sehingga wajar jika warga memilih beralih ke kendaraan pribadi untuk menuju kantornya.
"Ketakutan tersebut sangat mendasar karena trauma terjadi penumpukan atau kerumunan pengguna dan tidak sehatnya fasilitas publik yang ada," ujar Tigor.
"Akhirnya masyarakat lebih percaya dan lebih merasa sehat menggunakan kendaraan pribadinya seperti motor dan mobilnya," tambah dia.
Tigor juga menduga ada banyak pelanggaran operasional perkantoran di Jakarta, dengan memaksa pegawainya masuk 100 persen.
Padahal, Pemprov DKI Jakarta telah menetapkan bahwa jumlah pekerja yang diizinkan masuk ke kantor setiap hari hanya 50 persen.
"Kedua penyebab ini bisa jadi yang membuat Jakarta jadi sangat macet walau masih pada masa pandemi Covid-19," ujar Tigor.
"Menerapkan kebijakan ganjil genap pada masa pandemi Covid-19 ini tidak ada hubungannya dengan upaya untuk menurunkan kasus positif atau mencegah penyebaran Covid-19. Justru penerapan ganjil genap ini kemungkinan akan menimbulkan area baru penyebaran Covid-19, seperti di angkutan umum atau sarana publik lainnya," ujar dia.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.