Oleh karena itu, dia meminta Pemprov DKI mempertimbangkan kepentingan yang lebih besar, yakni keselamatan warga dari penyebaran Covid-19, bukan berpikir secara sektoral.
"Di tengah pandemi begini, buat apa memaksakan ganjil genap? Mungkin Pak Anies lelah dan bingung, sehingga akhirnya mengeluarkan kebijakan yang saya rasa bertentangan dengan logika akal sehat," kata Anthony.
Kekhawatiran muncul klaster transportasi umum
Tak hanya menyoroti alasan penerapan sistem ganjil genap, sebagai pengamat, Tigor juga menyoroti alasan warga lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi.
Baca juga: Pengamat: Ganjil Genap Tak Ada Hubungannya dengan Pembatasan Pergerakan Warga di Jakarta
Dia menyampaikan, penyebab melonjaknya penggunaan kendaraan pribadi adalah ketidakseimbangan jumlah transportasi umum di Jakarta dan penumpang.
Pasalnya, sebagian besar pekerja Ibu Kota bertempat tinggal di Bekasi, Tangerang, dan Depok.
"Terjadi lonjakan penggunaan kendaraan pribadi ke Jakarta dan di Jakarta karena ketersediaan layanan angkutan umumnya kurang, sementara jumlah penggunanya lebih tinggi," ungkap Tigor.
Faktor lainnya adalah warga memilih menggunakan kendaraan pribadi karena dinilai lebih minim penyebaran Covid-19 dibandingkan transportasi umum.
"Akhirnya masyarakat lebih percaya dan lebih merasa sehat menggunakan kendaraan pribadinya seperti motor dan mobilnya," Tigor menambahkan.
Sementara itu, Ombudsman Jakarta Raya menyatakan kekhawatiran munculnya klaster transportasi umum jika banyak warga yang beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi umum.
"Kebijakan Dishub DKI yang memberlakukan ganjil genap jelas mendorong munculnya cluster transmisi Covid-19 ke transportasi publik," ungkap Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya Teguh P Nugroho.
Teguh berpendapat, Pemprov DKI seharusnya mengawasi aktivitas perkantoran yang melanggar protokol kesehatan Covid-19.
Pasalnya, menurut Teguh, tingginya mobilitas warga di Ibu Kota disebabkan aktivitas perkantoran yang kembali normal.
Oleh karena itu, apabila Pemprov DKI ingin membatasi mobilitas warga, maka perkantoran di Ibu Kota harus membatasi waktu kerja para karyawan selama pandemi Covid-19.
"Jadi yang harus dibatasi adalah jumlah pelaju yang berangkat dan pulang kerja ke Jakarta. Itu hanya mungkin dilakukan jika Pemprov secara tegas membatasi jumlah pegawai dari instansi pemerintah, BUMN, BUMD dan swasta yang bekerja di Jakarta," ujar Teguh.