JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala keluarga merupakan aktor penting dalam sebuah rumah tangga. Semua permasalahan keluarga tak luput dari pikiran sang kepala keluarga.
Dari mulai keperluan rumah tangga hingga urusan perut anak-anak akan selau bercokol di kepala. Umumnya juga, kepala keluarga selalu diemban oleh laki-laki.
Namun, di kota metropolitan ini, situasi kadang dapat berubah. Terkadang wanitalah yang kerap mengambil peran dalam menakhodai sebuah keluarga.
Jadi tulang punggung utama pun mau tidak mau harus diemban.
Kira-kira begitulah yang dirasakan Deasy Monika Hutasoit (43). Perempuan dua anak ini jadi satu contoh dari ribuan wanita tangguh di Jakarta yang berjuang sebagai kepala keluarga.
Baca juga: Mendes: Sudah Ada Alokasi Dana Desa untuk Perempuan Kepala Keluarga
Tanggung jawab itu harus diemban pasca-pernikahan yang dia bina sejak tahun 2002 kandas pada tahun 2018. Menjadi pengemudi ojek online pun ditempuhnya untuk menyambung hidup.
Deasy sebenarnya sudah berkecimpung di dunia ojek online dua tahun sebelum perceraian. Namun, setelah berpisah dengan suami, dia merasa tanggung jawab yang dipikul semakin besar.
“Dahulu kalau narik sedapatnya saja, enggak ngejar banget. Yang penting pulang bawa hasil walau enggak seberapa. Sekarang sudah enggak bisa begitu lagi,” kata Deasy saat ditemui di kediamannya di kawasan Ceger, Jakarta Timur, Kamis (5/8/2020).
Walau sudah terbiasa cari uang, Deasy tidak memungkiri bahwa ada beberapa kendala saat awal menjadi tulang punggung utama keluarga.
Baca juga: Pandemi Covid-19, Perempuan Kepala Keluarga Disebut Kian Terpuruk
Mantan sales asuransi ini mengaku tidak siap 100 persen untuk mengemban tugas ini, mengingat dua anaknya masih sekolah dan biayanya pun sedang besar-besarnya.
Putra pertama bernama Bintang Febrianto masih duduk di bangku SMA, sedangkan Aurora Kirana masih di bangku SD.
Belum lagi biaya listrik, belanja kebutuhan sehari-hari semakin membuat Deasy mengernyitkan dahi.
“Pokoknya ya harus dijalani. Prinsipnya kalau ada usaha, ya ada jalan,” kata dia.
Di situlah dia mulai gencar-gencarnya mencari uang. Peran ibu dan ayah pun mulai dia tekuni dengan baik demi menjadi pemimpin keluarga.
Pagi hari, sekitar pukul 06.45 WIB, dia sudah keluar dengan Honda Vario-nya menelusuri jalan raya. Laju motornya berlomba dengan terbitnya matahari yang kala itu masih malu-malu menunjukkan sinarnya.
“Aku masak dulu sebelum berangkat untuk sarapan dan makan siang anak-anak kalau sudah pulang sekolah,” ucap dia.
Deasy sengaja keluar pagi buta demi mengincar penumpang anak sekolah yang baru berangkat. Lokasi tempat dia berputar sebagai ojek online pun tak jauh jauh dari rumah.
Baca juga: Melihat Kondisi Perempuan Kepala Keluarga Saat Pandemi...
Sengaja dia pilih area kerja tak terlalu jauh agar bisa pulang cepat dan membenahi rumah.
Setiap siang, Deasy sengaja pulang ke rumah untuk mencuci pakaian dan beres-beres.
Masuk ke siang hari sekitar pukul 14.00 WIB hingga 16.00 WIB, Deasy mulai mengincar pelajar yang ingin pulang sekolah.
Setelah itu setiap sore dia biasa mangkal di Tamini Square untuk menanti pelanggan yang pulang kerja.
Berapa pun uang receh yang dibawanya pulang ke rumah selalu disyukuri, meski tak selalu cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Deasy mengaku tak setiap hari uang yang dia dapat cukup tuk kebutuhan keluarga. Terlebih di tengah pandemi Covid-19 ini, penghasilannya benar–benar tergerus.
Tak seperti biasanya, dia bisa dapat tiga sampai empat penumpang sehari.
Kini, berkeliling dari kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, sampai rumah saja masih belum ada penumpang datang.
“Bayangin saja, aku jalan sudah pelan-pelan dari Kalibata ke rumah. Ternyata enggak ada satu pun penumpang yang nyangkut. Astaga,” kata dia.
Baca juga: Upaya Kemen PPPA Berdayakan Perempuan Kepala Keluarga
Tak jarang, Deasy pulang hanya mengantongi uang Rp 50.000 sampai Rp 60.000 per hari.
Mau tidak mau, dia pun kerap menerima bantuan dari sanak keluarga, bantuan sosial pemerintah, bahkan hingga pinjam uang sana–sini.
Di tengah kondisi itu, kadang Deasy merasa putus asa. Dia sempat berada di titik di mana situasi tidak adil baginya.
Mengapa harus dirinya yang menanggung beban ini sendiri tanpa bantuan sedikit pun? Semua pertanyaan “kenapa” tetiba muncul dalam kelelahan yang memuncak.
“Kalau sudah seperti itu, cara menenangkan diri hanya diam. Enggak mikir apa-apa, cuma diam saja menenangkan diri, menghibur diri sama sambil lihat anak-anak. Saya kembali lihat anak-anak saya,” kata Deasy.
Deasy seketika terbangun dari kekecewaaanya kala terbayang dua wajah sang buah hati. Dia sadar di tengah sulitnya hidup, ada dua orang yang harus dia perjuangkan.
Apa jadinya nasib kedua orang anaknya jika Deasy sudah menyerah dengan kehidupan.
Maka dari itu, kerja keras banting tulang hingga jungkir balik pun dia lakukan demi sang anak.
“Kembali lagi saya melihat anak, hanya anak yang bisa buat saya semangat sampai sekarang,” kata dia.
Kini, Deasy punya angan ingin menjadikan anaknya sarjana. Dia mau kedua anaknya bisa dapat pekerjaan lebih baik dan masa depan lebih cerah.
Tak akan dibiarkannya kedua anak Deasy mengikuti jejaknya, hanya lulusan SMA dan terlunta-lunta mencari kerja.
Beruntung, putra pertamanya kini akan menginjak tahun pertama kuliah di kampus swasta.
“Maskudnya bikin mereka sampai S1 biar bekal dia ada untuk bertahan hidup dan dapat pekerjaan yang layak. Akan aku sekolahkan, apa pun aku jual asal anak-anak sarjana,” tutup dia.
Perjuangannya masih panjang. Deasy hanya berharap dirinya masih diberikan kesehatan. Hal itu dibutuhkan agar fisiknya kuat bekerja menantang angin di jalanan, melaju kencang dengan kuda besinya demi secercah rezeki untuk hidupi keluarga tercinta.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.