Perceraian jadi pukulan dalam perjalanan hidup Deasy. Namun, dia tak mau larut dengan kesedihan itu.
Walau sebelum cerai sudah bekerja sebagai ojol, tetap saja peran sebagai tulang punggung keluarga merupakan hal baru baginya.
Awalnya, dia mengaku tidak siap seratus persen untuk mengemban tugas ini, mengingat dua anaknya masih sekolah dengan biaya sedang besar-besarnya.
Kala itu Bintang masih duduk di bangku SMA sedangkan Aurora masih di bangku SD.
Belum lagi biaya kebutuhan lain-lainya yang bikin Deasy mengernyitkan dahi.
“Pokoknya ya haus dijalani. Prinsipnya kalau ada usaha ya ada jalan,” kata dia.
Hari demi hari masa pandemi dilewatinya dengan tabah. Walau penghasilan semakin lama semakin menipis.
Terang saja, kini Deasy hanya mengantongi uang Rp 50.000 sampai Rp 60.000 per hari. Kadang Deasy mendapat uluran tangan dari sanak keluarga, bantuan sosial pemerintah, dan tak jarang pinjam uang sana sini.
Di tengah tekanan itu, Deasy mengaku sempat mau menyerah dengan keadaan.
Dia sempat berada di titik di mana kondisi terasa tidak adil baginya. Mengapa harus dirinya yang menanggung beban ini sendiri? Mengapa tidak ada campur tangan dari sang mantan suami? Mengapa harus sesusah ini hidup yang dijalani ? Semua pertanyaan muncul dalam lelah yang memuncak.
“Kalau sudah seperti itu, cara menenangkan diri hanya diam. Enggak mikir apa-apa cuma diam saja menenangkan diri, menghibur diri sama sambil lihat anak-anak. Saya kembali lihat anak-anak saya,” kata Deasy.
Deasy seketika terbangun dari kekecewaaanya kala terbayang dua wajah sang buah hati. Dia sadar di tengah sulitnya hidup, ada dua orang yang harus dia perjuangkan.
Apa jadinya nasib kedua orang anaknya jika Deasy sudah menyerah dengan kehidupan.
Maka dari itu, kerja keras banting tulang hingga jungkir balik pun dia lakukan demi sang anak.
“Kembali lagi saya melihat anak, hanya anak yang bisa buat saya semangat sampai sekarang,” kata dia.