Catatan Harian Kompas tanggal 16 Agustus 1995, proses peresmian tugu peringatan itu awalnya berjalan alot.
Wali Kota Jakarta kala itu, Suwirjo, menolak peresmian tugu peringatan satu tahun kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1946 karena alasan keamanan.
Suwirjo ingin meresmikan sendiri tugu peringatan itu pada 18 Agustus 1946.
"Kalau tanggal 18 Agustus, biarlah Pak Suwirjo sendiri yang membukanya," lata Jo Masdani.
Jo Masdani mengaku tak takut mati walaupun harus meresmikan tugu peringatan itu pada 17 Agustus 1946.
Kemudian, dia bersama tokoh pejuang wanita lainnya menghubungi Sutan Syahrir untuk meresmikan tugu peringatan itu. Sutan Syahrir pun menyanggupinya.
Semenjak peresmian itu, para pemuda dan pelajar dari tahun ke tahun menyelenggarakan upacara memperingati HUT Indonesia di tugu peringatan tersebut.
Setelah pemulihan kedaulatan Indonesia tahun 1950, Presiden dan Wakil Presiden seusai upacara kenegaraan di Istana Negara, selalu mendatangi tugu peringatan untuk meletakkan karangan bunga sekaligus membacakan doa bagi para pahlawan.
Tak hanya itu, para tamu negara tak segan diajak untuk meletakkan karangan bunga bagi para pahlawan yang telah gugur.
Selang 14 tahun setelah peresmian tugu peringatan proklamasi Indonesia, keberadaan tugu peringatan itu mulai tak dikunjungi warga.
ST Sularto dalam "Bung Karno di antara Saksi dan Peristiwa" menulis bahwa menurut Presiden Soekarno, tugu peringatan itu merupakan tugu Linggarjati sehingga tugu tersebut harus dihancurkan.
Padahal, perjanjian Linggarjati baru berlangsung 10 November 1946, tiga bulan setelah peresmian tugu peringatan itu.
Oleh karena itu, Jo Masdani dengan tegas membantah pernyataan tersebut.
“Persiapan kami lakukan sejak Juni 1946 sedangkan Linggarjati terjadi pada November 1946. Ini kan suatu kekeliruan besar,” kata Jo Masdani.
Penghancuran tugu peringatan itu tetap dilakukan sehingga hanya menyisakan tiga keping marmer yang kemudian disimpan sebagai kenangan di depan rumah Jo Masdani.
Tiga keping marmer itu bertulikan “Dipersembahkan oleh wanita Repoeblik” dan tulisan Proklamasi dilengkapi peta Indonesia.
Meskipun demikian, pada tahun 1972, pemerintah mulai membangun kembali rumah proklamasi (saat ini dikenal Gedung Perintis Kemerdekaan) dan tugu peringatan satu tahun proklamasi yang sebelumnya diprakarsai lima tokoh pejuang wanita Indonesia).
Hingga akhirnya, dikutip dari laman jakarta.tourism.go.id, tugu peringatan itu diresmikan pada 17 Agustus 1972 oleh Menteri Penerangan kala itu yang dijabat Budiarjo.
Tugu Petir