TANGERANG SELATAN, KOMPAS.com - Pandemi Covid-19 memberikan dampak keterpurukan ekonomi sebagian masyarakat. Tak sedikit orang mengalami penurunan pendapatan hingga kehilangan pekerjaan.
Dampak itu pun dirasakan oleh salah satu mahasiswa asal UIN Syarif Hidayatullah, Saeful Margasana.
Ayahnya, Haidir serta ibunya, Mutiah yang bekerja sebagai tukang tambal ban dan pedagang, mengalami penurunan pendapatan.
Usaha ibunya yang berdagang gorengan keliling untuk menambah pemasukan keluarga harus terhenti.
Baca juga: Pedagang Gorengan di Pancoran Tak Kuasa Tahan Tangis Ingat Motornya Dicuri
Pasalnya, biasanya Mutiah mangkal di sekolah. Sementara kini tidak ada aktivitas di sekolah karena kebijakan belajar mengajar secara daring.
Meski demikian, Saeful tetap harus membayar kewajiban uang kuliah. Biaya per semester Rp 3.480.000.
Terpaksa, keluarga Saeful harus membongkar celengan koin.
"Karena pandemi ini, akhirnya bayar (kuliah) pakai tabungan keluarga dari tahun 2016. Uangnya koinan nominal Rp 1000. Itu hasil tambal ban, tambah angin sama jualan gorengan," ujar Saeful saat dihubungi Kompas.com, Kamis (20/8/2020).
Setelah dihitung mencukupi, Saeful mencoba menukarkan koin seberat 17,5 kilogram itu menjadi uang kertas ke dua bank berbeda.
Baca juga: Cerita Jurnalis Foto, Kerja Berdampingan dengan Covid-19...
Namun, satu bank yang didatangi mengaku sedang gangguan. Adapun satu bank lainnya menolak dengan alasan tidak memiliki penghitung uang koin.
Tenggang waktu pembayaran kuliah kian mendekati. Saeful yang tak ingin menunda perkuliahan akhirnya menukarkan koin di lima minimarket.
"Kan bayar kuliah melalui bank, setelah koin sudah ditukar uang kertas langsung saya bayar. Alhamdulillah saat ini sudah bayar (Rabu) kemarin. Terakhir bayar kuliah tanggal 21 Agustus," kata pria asal Cisoka, Kabupaten Tangerang itu.
Saeful mengungkapkan, dampak pandemi bukan hanya soal berkurangnya pendapatan orangtua yang berujung pada sulit membayar kuliah, tetapi juga proses belajar.
Selama adanya kebijakan menjalani perkuliahan secara online, Saeful harus merogoh kantong lebih dalam untuk membeli paket kuota internet.
"Iya boros, seharunya buat nabung, ini buat beli kuota. Tapi harus dilakukan untuk ikut perkuliahan," ucapnya.
Baca juga: Cerita Pasien Covid-19, Terinfeksi Setelah Protokol Kesehatan Kendur
Untuk berhemat, tak jarang Saeful harus mendatangi kantor kepala desa hingga rumah makan untuk mendapatkan jaringan internet gratis demi mengikuti perkulihan.
"Kadang juga sempat tidak ikut perkulihan karena mati lampu. Semua jaringan wifi tidak ada. Kuota tidak punya. Ini kesulitan yang saya rasakan selama belajar tidak tatap muka. Penjelasan dosen melalui online tidak maksimal," katanya.
Sesekali Saeful rindu aktivitas sebelum adanya pandemi Covid-19. Berkumpul dan diskusi bersama teman kampus.
Hal yang paling diingat saat ini adalah kosan yang menjadi tempat singgah selama menjalani perkuliahan.
Tempat itu sudah tidak ditempati Saeful selama adanya pandemi Covid-19. Namun, barang miliknya masih disimpan di kosan.
"Bayar juga tetap bayar. Ada kesepakan dengan pemilik kosan, nitip barang dan saya bayar Rp 20.000 per bulan. Jadi masih tercatat penghuni kos itu," katanya seiring tawa.
Kini, Saeful hanya bisa berharap agar pandemi Covid-19 segera selesai. Perkulihan dapat dilakukan tatap muka dan perekonomian orang tua dapat bangkit.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.