JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai pelibatan TNI dalam mekanisme penjemputan orang-orang positif Covid-19 untuk isolasi terkendali adalah hal berlebihan.
KontraS menilai pelibatan TNI berpotensi menggunakan cara-cara yang intimidatif saat menjemput orang-orang positif Covid-19.
“Pasalnya, mekanisme tersebut bukanlah wewenang TNI dan terkesan sebagai jalan pintas untuk memastikan ketaatan publik melalui keberadaan TNI daripada mengedepankan pendekatan persuasif yang humanis,” ujar Wakil Koordinator III KontraS Rivanlee Anandar dalam keterangan tertulis, Senin (14/9/2020) sore.
Baca juga: Pemprov DKI Akan Libatkan TNI-Polri jika Ada Perlawanan Perusahaan Saat Pengawasan Penerapan PSBB
KontraS mencatat, beberapa kebijakan negara yang memberikan banyak peran kepada TNI di luar tupoksi dan keahliannya dalam menangani pandemi, alih-alih mengacu pada otoritas kesehatan yang memiliki kepakaran dalam penanganan pandemi.
“Adapun kami melihat bahwa tindakan menjemput paksa pasien Covid-19 untuk keperluan isolasi adalah tugas yang mampu dilaksanakan oleh petugas kesehatan dengan dibantu oleh aparat kepolisian dan satuan polisi pamong praja sehingga tidak lagi membutuhkan keterlibatan aparat TNI,” tambah Rivan.
KontraS mengingatkan pemerintah terkait posisi TNI sebagai lembaga pertahanan negara yang seharusnya difokuskan pada kerja-kerja pertahanan.
Baca juga: IKAPPI: Pedagang Pasar Harus Diedukasi soal PSBB, Bukan Ditakut-takuti
Rivan menyebutkan, kewenangan anggota TNI untuk memegang senjata dan melakukan kekerasan harus dipandang sebagai kewenangan yang harus sangat dibatasi melalui berbagai instrumen hukum untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.
“Salah satunya Undang–Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yang mengatur bahwa pelibatan TNI dalam tugas-tugas non-perang harus melalui skema Operasi Militer Selain Perang yang dibatasi pada 14 sektor dan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan kebijakan politik negara, yakni diputuskan oleh Presiden dan DPR dalam mekanisme pembahasan bersama antar keduanya,” tambah Rivan.
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan menyatakan bahwa bagi yang menolak isolasi di tempat-tempat yang ditetapkan akan dijemput untuk dilakukan isolasi terkendali secara paksa oleh petugas kesehatan serta aparat kepolisian dan TNI.
Baca juga: Mulai Senin, Pasien Covid-19 yang Menolak Isolasi akan Dijemput Paksa
"Bila ada kasus positif yang menolak isolasi di tempat yang telah ditentukan, maka akan dilakukan penjemputan oleh petugas kesehatan bersama aparat penegak hukum," ujar dia dalam konferensi pers, Minggu (13/9/2020).
Anies mengatakan, pemerintah pusat sudah menyediakan fasilitas kesehatan pendukung untuk pasien terpapar Covid-19, baik di Wisma Atlet Kemayoran maupun di tempat lainnya.
Anies mengatakan, pemerintah pusat sudah menyediakan fasilitas kesehatan pendukung untuk pasien terpapar Covid-19, baik di Wisma Atlet Kemayoran maupun di tempat lainnya.
Pemberlakuan kewajiban isolasi di tempat yang sudah ditetapkan pemerintah ini akan berlaku mulai Senin, 14 September.
Pemberlakuan ini juga bertepatan dengan ditetapkannya kembali pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta.
"Jadi mulai besok (Senin), semua yang yang ditemukan positif (Covid-19) diharuskan untuk isolasi secara terkendali di tempat-tempat yang telah ditetapkan," kata Anies.
Anies menekankan bahwa isolasi mandiri di rumah sudah tidak berlaku lagi dan harus dihindari. Hal tersebut untuk menghindari terjadinya klaster perumahan.
"Isolasi mandiri di rumah tinggal harus dihindari karena berpotensi pada penularan klaster rumah. Ini sudah terjadi," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.