Menurutya, pihak puskesmas masih berkelit lagi, dengan tetek-bengek soal anggaran perawatan suaminya di Wisma Atlet yang bakal dilimpahkan ke Depok, hingga alasan koordinasi dan sebagainya. Ia mengklaim terus mendesak agar suaminya bisa segera dikirim ke Jakarta.
“Lalu dia (pihak puskesmas) bilang, ‘ibu jangan mendesak kami terus, kami juga banyak kerjaan’. Lho, memangnya kami bukan kerjaan mereka? Masalahnya apakah karena kami tidak sesuai domisili? Karena belum urus SK domisili, jadi mereka seolah angkat tangan?” tukas Icha.
“Ini tinggal mau atau tidaknya si puskesmas mengurus administrasinya. Kok, jadi seolah-olah kami beban mereka. Kan ini sudah ditanggung negara,” lanjutnya.
Setelah terlibat adu mulut di dunia maya, akhirnya pihak puskesmas setuju merujuk suaminya ke Wisma Atlet. Surat keterangan rujukan itu kemudian harus diambil langsung di puskesmas, tepatnya di depan gerbang puskesmas.
Masalahnya, pihak puskesmas dalam koordinasinya dengan manajemen Wisma Atlet, menyebut Icha dan suami akan datang sendiri.
Icha kian heran, bagaimana cara agar suaminya bisa masuk ke Wisma Atlet dalam kondisi sakit? Pasutri muda itu baru punya sepeda motor. Mustahil suaminya menunggangi sepeda motor sendirian dalam keadaan terhuyung-huyung, dari Depok ke Kemayoran.
Tanpa obat yang tak pernah ia terima dari puskesmas, Icha hanya mengandalkan obat-obatan seadanya agar kondisi tubuh suaminya tak memburuk. Ia bantu membuatkan madu hingga jamu.
Beruntung, Icha akhirnya dihubungkan dengan layanan ambulans gratis pasien Covid-19 dari salah satu organisasi profesi, melalui jejaring rekannya. Selasa lalu, suaminya berhasil diboyong ke Wisma Atlet.
Icha menyatakan, birokrasi berbelit yang ia alami mestinya tak terjadi kepada siapa pun. Pasalnya, pandemi ini adalah bencana nasional dengan situasi darurat bagi mereka yang mengidap Covid-19.
Menurutnya, keadaan yang terjadi padanya mungkin terasa tak begitu bermasalah karena suaminya bergejala ringan. Namun, bagi pasien bergejala berat, hari-hari yang terkuras hanya untuk mengurus administrasi seperti itu, ongkosnya nyawa.
“Harusnya tidak perlu dikotak-kotaki, mau domisili mana saja, kalau ternyata positif Covid-19, ya harusnya bsia diterima di mana saja. Mengurus administrasi kayak gitu kan lama, seperti sempat ke puskesmas yang ternyata tidak sesuai domisili lalu aku tidak diterima. Makan waktu,” ungkapnya.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Depok, Novarita mengaku tak bisa terlalu jauh untuk mengomentari peristiwa ini. Namun, ia membenarkan bahwa memang ada alur yang agak panjang untuk ditempuh pasien positif Covid-19 di Depok, terlebih jika melakukan tes swab mandiri yang membuatnya sedikit sulit masuk dalam radar pelacakan pemerintah.
“Kalau melakukan tes swab mandiri, kadang-kadang datanya itu lama masuk ke Picodep (Pusat Informasi Covid-19 Depok). Se-Indonesia ini datanya masuk ke all new record. Untuk dipilah-pilah, melihat mana orang Depok, agak susah,” kata Novarita kepada Kompas.com, Jumat.
“Kalau tes swab mandiri, lapor ke puskesmas, nanti dicatat oleh puskesmas untuk dipantau. Kalau rumahnya tidak layak (isolasi mandiri), bisa diusulkan untuk masuk ke Wisma Atlet atau RS Citra Medika Depok sebagai tempat isolasi,” imbuhnya.
Soal respons puskesmas yang lamban, ia merasa perlu mendengar penjelasan dari puskesmas yang disebut Icha.
“Kalau di sana ada dua orang yang tidak memungkinkan isolasi mandiri, ya akan dicarikan tempat untuk isolasi. Tapi saya tidak tahu komunikasi antara mereka, harus diluruskan dulu,” kata Novarita.
“Selama tidak ada gejala, memang kami memantau lewat telepon. Kalau ada gejala, kami kirim obat ke sana. Kalau (tenaga puskesmas) datang, nanti terjadi penularan,” kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.