JAKARTA, KOMPAS.com - Sudah 11 hari sejak pembatasan sosial berskala besar (PSBB) ketat diberlakukan di Jakarta.
Gubenur DKI Jakarta, Anies Baswedan menarik rem darurat itu karena penyebaran Covid-19 di Ibu Kota kembali meningkat, terutama saat PSBB transisi.
Karena kebijakan PSBB itu, banyak para pekerja yang harus kembali bekerja dari rumah selama PSBB. Namun tak semua pekerja bisa merasakan bekerja dari rumah.
Sebagain penduduk ada yang harus bekerja di kantor seperti biasa karena tidak ada kebijakan work from home (WFH).
Salah satunya Anna, perempuan berusia 21 tahun ini harus bekerja di lapangan seperti biasa sebagai wartawan.
Baca juga: Selama Pengetatan PSBB, 211 Restoran di Jakarta Ditutup Sementara
Dia mengeluhkan minimnya alat proteksi diri yang diberikan pihak perusahaan.
"Saya hanya dikasih tiga masker, satu masker scuba, dua masker kain. Apalagi masker bahan scuba sudah enggak direkomendasikan lagi kan," kata dia saat dihubungi Kompas.com.
Alhasil, dia harus merogoh kocek sendiri guna membeli masker cadangan serta hand sanitizer.
Selain itu, tak jarang atasannya memerintahkan Anna untuk liputan di tempat yang berada di zona merah Covid-19. Rasa khawatirnya pun memuncak. Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa.
"Sebenarnya khawatir terkena (Covid-19). Apalagi di rumah saya tinggal sama ibu, sama nenek yang sudah rentan usia," ucap dia.
Rasa jengkel pun semakin memuncak kala perusahaannya memberlakukan pemotongan gaji sekian persen. Sebenarnya, Anna tak masalah dengan pemotongan gaji.
Baca juga: Wagub DKI: Aparat Pengawas PSBB 20.000 Tak Sebanding dengan 11 Juta Warga Jakarta
Yang mengganjal baginya yakni tugas yang dia emban malah semakin banyak.
"Ya kalau potong gaji saya, harusnya kerajaan juga ada yang dikurangi dong. Kalau gaji dipotong kerjaan semakin tambah bagaimana jadinya," kata dia.
Nasib bekerja di tengah PSBB juga dirasakan Ahmad (22). Pria yang bekerja sebagai pelayan di sebuah supermarket ini mengeluhkan fasilitas transportasi.
Kini dia cukup kesulitan jika harus pulang mengunakan kereta api menuju kediaman di Bogor.
Pasalnya, jam operasional KRL kini semakin singkat.
"Kayak kemarin saya sekitar pukul 20.00 WIB mau pulang. Pas sampai stasiun ternyata itu sudah kereta terakhir kalau enggak salah (ke arah Bogor)," kata dis
"Jadi bayangin kalau saya terlambat ke stasiun, saya pasti sudah ketinggalan kereta," ucap dia.
Mau naik ojek atau taksi online pun tak mungkin dia lakukan karena ongkosnya akan membengkak.
Baca juga: Selama Pengetatan PSBB, Polisi Sebut Volume Kendaraan Menurun 20 Persen
Di samping itu, dia kerap mendapati fasilitas hand sanitizer di stasiun habis. Ahmad pun harus membawa hand sanitizer sendiri dari rumah.
Masuk ke gerbong kereta pun kadang jadi masalah baru bagi Ahmad. Dia melihat sedikit penumpang yang menerapkan social distancing.
"Saya juga ngeh kalau ternyata banyak yang kurang perhatian sama kesehatan sendiri. Keinginan jaga jarak itu seharusnya timbul dari diri sendiri, enggak perlu ditegur petugas dulu," ucap dia.
Dia berharap, pemerintah bisa memberikan alternatif transportasi untuk para pekerja yang masih diwajibkan bertugas selama pandemi.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan