“Berarti Tuhan mau saya ditempatkan di sini, melayani di sini,” kata pria yang juga sebagai pelayan di gereja ini.
Keputusan ini tentu tak melulu mendapat respon positif.
Istri dan anak Handoko jadi pihak pertama yang menentang rencana itu. Mereka tak habis pikir dengan keputusan Handoko dan menolak mentah-mentah.
“Wah nentang banget mas. Apa lagi di rumah saya juga ada mertua saya sudah tua. Jadi takut tertular atau gimana gitu,” kata dia.
Bahkan sampai sekarang pun, pihak keluarga belum sepenuhnya mendukung kegiatan ini.
Walau demikian, Handoko selalu memberi pemahaman kepada keluarga bahwa yang dia lakukan aman dan sesuai protokol kesehatan.
Jaraknya instruktur dan peserta senam pun jauh. Selain itu, semuanya juga diwajibkan memakai masker.
Baca juga: Tertinggi Sejak Pandemi, 98 Pasien Isolasi di Rumah Lawan Covid-19 Tangsel
Selama 12 tahun jad instruktur senam sudah cukup membuat Handoko paham apa yang dibutuhkan para pasien di tempat isolasi.
Senam untuk pernapasan jadi fokus utamanya. Hal tersebut karena Covid-19 cenderung menyerang sistem pernapasan manusia.
Gerakan begitu halus dan kokoh pun diperagakan di depan para pasien. Ada yang mengikuti dengan sungguh-sungguh, ada yang hanya bergerak sekadarnya saja.
Namun demikian, Handoko sadar betul bukan kesehatan fisik saja yang dibutuhkan pasien. Kesehatan mental juga berpengaruh kepada proses penyembuhan.
Maka dari itu, tak jarang Handoko menyelipkan beberapa lelucon ditengan senamnya. Walau terdengar sederhana, namun dia mengakui cukup mengundang gelak tawa pasien.
“Saya suka bilang ‘kita harus Cilacap-Probolinggo. Umur boleh lah Cap (60) semangat tetap Ji Go (25)’, heheheheh,” kata dia sambil tertawa.
Banyak yang terhibur rupanya. Handoko pun sadar lelucon-lelucon itu harus sering dia selipkan supaya para pasien lepas dari stres.
Baca juga: Sembuh, Pelajar hingga Tenaga Medis yang Karantina di Rumah Lawan Covid-19 Dipulangkan
Tak ada rupiah yang bisa membayar kebaikan Handoko.