JAKARTA, KOMPAS.com - Setiap musibah, selalu ada hikmah. Itu yang dirasakan reporter Kompas.com, Singgih Wiryono (28) saat divonis positif Covid-19.
Singgih harus menjalani perawatan satu pekan lamanya di sebuah rumah sakit khusus Covid-19 di Jakarta Selatan. Dan sebulan lebih menjalani isolasi mandiri di rumahnya sampai dinyatakan negatif Covid-19.
Seperti banyak pasien lainnya, gejala yang dialami Singgih tak langsung dikenali sebagai Covid-19. Gejalanya mirip demam berdarah, dengan demam tinggi berhari-hari hingga muncul bintik-bintik merah.
Namun, begitu swab test dilakukan, Singgih dipastikan positif Covid-19. Sejak itu pula, Singgih menjalani perawatan di kamar isolasi khusus pasien Covid-19.
Baca juga: Cerita Penyintas Covid-19: Gejala Mirip Demam Berdarah hingga Teriakan Minta Tolong
Di kamar itu, Singgih bersama dua orang pasien lainnya. Satu orang pemuda berusia 21 tahun dan seorang lanjut usia.
Dari ketiganya, kondisi terparah dialami pemuda usia 21 tahun.
Suatu malam, pasien itu diserang hipoksia. Tiba-tiba dia tak bisa bernapas. Dia berteriak seolah sedang tenggelam, padahal berada di atas kasur.
Bola matanya pun tak terkendali. Dia tak sadarkan diri.
"Dia pingsan, bola matanya menghadap ke atas. Pingsan tapi berteriak mengerang-erang seperti orang yang tenggelam kehabisan napas padahal dia sedang tidak di dalam air," kenang Singgih kepada Kompas.com, Senin (5/10/2020).
Baca juga: Cerita Penyintas Covid-19, Terpapar karena Menyepelekan...
Namun, hanya semalam Singgih bertemu pemuda itu. Hari berikutnya, pemuda itu sudah tak terlihat ada di kasurnya. Ke mana dia?
"Dia masuk ICU Pak, harus dipasang ventilator," ujar salah seorang perawat.
Ventilator adalah alat pernapasan bantuan dengan menggunakan selang yang masuk ke dalam mulut menembus hingga ke paru-paru.
Selama selang itu ada di mulut, pasien tidak diperbolehkan meminum sesendok air pun
Itulah pemandangan yang paling menghentak Singgih. Betapa virus corona tak mengenal usia. Yang muda yang katanya punya imunitas kuat pun terkapar tak berdaya.
Virus bisa menyerang siapa saja dan kita tidak tahu sejauh mana tubuh akan bereaksi.
Tak hanya merasakan perjuangan bersama pasien lain melawan Covid-19, Singgih pun melihat perjuangan para tenaga medis dengan jumlah yang terbatas menangani ratusan pasien setiap harinya.
Terhitung enam bulan sudah mereka bertugas menggunakan Alat Pelindung Diri (APD), berbentuk jas hujan, kacamata penyelam dan masker tebal N95.
Pemandangan itu mungkin terlihat "biasa" saat ini di tengah pandemi. Namun, cobalah rasakan bagaiman bekerja berjam-jam dengan menggunakan alat pelindung berlapis-lapis itu.
Sulit bergerak tentunya. Tak nyaman, sudah pasti. Apalagi, mereka harus menahan haus, lapar, hingga buang air selama mereka bertugas.
Baca juga: Cerita Penyintas Covid-19: Jangan Kucilkan Pasien Covid-19, Kita Juga Ingin Sembuh
Bahkan saat beribadah pun, pakaian pelindung tak pernah mereka tanggalkan.
"Ketika saya di IGD saya melihat seorang dokter jaga karena tertulis di APD-nya nama dengan gelar dokter di depan namanya duduk di samping tembok, di depannya dia taruh satu kursi sebagai penanda kalau dia akan sholat," ujar Singgih.
Dokter itu kemudian menitip pesan kepada perawat bahwa jika ada yang memanggilnya untuk ditegur.
Dokter perempuan itu kemudian mengusap tembok dan debu suci dilumurkan tipis di muka dan telapak tangannya hingga ke siku.
Baca juga: Cerita Penyintas Covid-19, Termotivasi Semangat Para Tenaga Medis...
"Dia sholat di tempat duduk, menggunakan APD lengkap dengan masker dan kacamata. Saya membayangkan apa yang dikerjakan dokter ini selama dia bertugas di RS hampir 6 bulan terakhir, dia sholat 6 bulan dengan cara begini?" kenang Singgih.
Perawat lainnya pun bercerita bagaimana sulitnya mereka bekerja di balik baju layaknya astronot itu.
"Susah napas kita Pak pakai ini," kata seorang perawat kepada Singgih.
Setelah 7 hari dirawat di RS, Singgih akhirnya diperbolehkan pulang untuk menjalani isolasi mandiri. Dokter menilai kondisi Singgih membaik sehingga bisa dilanjutkan dengan perawatan di rumah.
Protokol kesehatan diterapkan Singgih dengan ketat bersama istrinya, Siti Aminah. Mereka tidur di kamar yang berbeda, segala kebutuhan Singgih untuk makan hingga mandi dipisahkan.
Mencuci pakaian terpisah, menyemprot disinfektan setiap saat, hingga tidur pun sang istri tetap disiplin memakai masker.
Selama isolasi mandiri, kekhawatiran Singgih akan pandangan warga sekitar mengetahui ada tetangganya yang terinfeksi Covid-19 pun sirna.
Baca juga: Cerita Penyintas Covid-19, Hafalkan Al Quran Saat Diisolasi hingga Khawatir Dikucilkan
Tak disangka, lingkungan sekitar sangat suportif. Ketua RT bahkan setiap pagi mengantarkan makanan untuk pasangan muda yang tinggal di rumah kontrakan ini.
Pemilik kontrakan juga memberikan makanan untuk membantu pemulihan Singgih.
Beragam paket berdatangan ke rumah Singgih dari banyak orang. Mulai dari buah, susu, sereal, sayur, beras, hingga alat bantu pernapasan dikirim untuk membantunya menjalani isolasi mandiri.
"Satu minggu isolasi, paket itu enggak berhenti datang, sampai saya merasa begini rasanya menjadi tangan di bawah. Saya merasa banyak sekali orang yang saya repotkan karena Covid-19," ucap Singgih.
Dia pun sedikit terusik karena merasa tak bermanfaat karena terus-menerus mendapat bantuan. Namun, saat bercerita kepada ibunda, ada satu kalimat yang melapangkan hati Singgih.
"Ibu bilang ini menjadi pelajaran kalau ternyata hidup memang seperti roda dan saya sedang berada di bawah. Jadikan pelajaran jika besok kita berada di atas untuk ikut membantu mereka yang di bawah seperti kita dibantu ketika berada di bawah," ungkap Singgih.
Kini, Singgih telah sembuh dari Covid-19. Dia pun berharap dirinya adalah orang terakhir yang terkena virus ini.
"Saya adalah 1 dari 200 ribuan angka Covid-19 di Indonesia. Jangan sampai kamu ikut menjadi salah satunya," ucap dia.
Selesai
Baca cerita sebelumnya dalam Cerita Penyintas Covid-19: Gejala Mirip Demam Berdarah hingga Teriakan Minta Tolong.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.