DEPOK, KOMPAS.com - Ketua Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Kota Depok, Wido Pratikno menjamin buruh yang melakukan aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja tidak akan melakukan sweeping terhadap buruh lain.
Dia juga menjamin aksi akan dilakukan sesuai dengan protokol kesehatan.
"Sweeping kami enggak melakukan, tetapi ajakan untuk hari ini sudah kita lakukan keliling ke teman-teman yang ada," ucap Wido kepada wartawan pada Selasa (6/10/2020).
"Karena ini pandemi, kita juga harus jaga jarak, jaga kesehatan. Paling hanya di depan depan perusahaan saja untuk mengikuti protokol kesehatan," katanya.
Baca juga: UU Cipta Kerja Disahkan, Serikat Buruh Depok Berencana Mogok Kerja 3 Hari
Selain itu, dia mengatakan tak ada instruksi agar anggotanya melakukan unjuk rasa tolak UU Cipta Kerja ke Jakarta atau kota-kota lain.
Menurutnya, unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja digelar di wilayah pabrik masing-masing yang terdapat serikat pekerja.
"Tidak, tidak bergabung (dengan demo di kota lain), di perusahaan masing-masing saja," ujar Wido
Sekitar 10.000 anggota FSPMI Depok sudah diinstruksikan agar berunjuk rasa dan mogok kerja secara massal selama 3 hari.
Sebelumnya, sebagaimana sikap para pekerja dan buruh di pelbagai daerah, FSPMI Kota Depok juga menyatakan sikap menolak disahkannya UU Cipta Kerja oleh DPR dan pemerintah kemarin.
Baca juga: Buruh di Bekasi Disebut Siap Kena PHK Dampak Mogok Kerja
"Jadi karena apa kami tolak? Pesangon didegradasi, kemudian cuti haid dihilangkan, terus kontrak kerja seumur hidup bisa, outsourcing seumur hidup bisa," ujarnya.
Penolakan ini selaras dengan gelombang protes kalangan pekerja dan buruh serta koalisi masyarakat sipil terhadap UU Cipta Kerja.
UU Cipta Kerja yang masuk dalam Omnibus Law usulan Presiden RI Joko Widodo ini dinilai rentan mengeksploitasi para pekerja dan buruh serta lingkungan hidup.
Dari sisi pekerja, berikut segelintir dari sekian kerugian yang akan ditimbulkan akibat disahkannya undang-undang ini:
Penghapusan upah minimum
Salah satu poin yang ditolak serikat buruh adalah penghapusan upah minimum kota/kabupaten (UMK) dan diganti dengan upah minimum provinsi (UMP). Penghapusan itu dinilai membuat upah pekerja lebih rendah.
Padahal, dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan tak boleh ada pekerja yang mendapat upah di bawah upah minimum.
Baik UMP dan UMK, ditetapkan oleh gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari dewan pengupahan provinsi dan bupati/wali kota.
Penetapan UMK dan UMP didasarkan atas perhitungan Kebutuhan Layak Hidup atau KLH.
Jam lembur lebih lama
Dalam draf omnibus law Bab IV tentang Ketenagakerjaan Pasal 78 disebutkan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak empat jam dalam sehari dan 18 jam seminggu.
Ketentuan jam lembur itu lebih lama dibandingkan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, yang menyebut kerja lembur dalam satu hari maksimal 3 jam dan 14 jam dalam satu minggu.
Kontrak seumur hidup dan rentan PHK
Dalam RUU Cipta Kerja salah satu poin Pasal 61 mengatur perjanjian kerja berakhir pada saat pekerjaan selesai.
Sementara, Pasal 61A menambahkan ketentuan kewajiban bagi pengusaha untuk memberikan kompensasi kepada pekerja yang hubungan kerjanya berakhir.
Dengan aturan ini, RUU Cipta Kerja dinilai merugikan pekerja karena ketimpangan relasi kuasa dalam pembuatan kesepakatan.
Sebab, jangka waktu kontrak akan berada di tangan pengusaha yang berpotensi membuat status kontrak pekerja menjadi abadi.
Bahkan, pengusaha diniali bisa mem-PHK pekerja sewaktu-waktu.
Pemotongan waktu istirahat
Pada Pasal 79 ayat 2 poin b dikatakan waktu istirahat mingguan adalah satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu.
Selain itu, dalam ayat 5, RUU ini juga menghapus cuti panjang dua bulan per enam tahun. Cuti panjang disebut akan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Hal tersebut jauh berbeda dari UU Ketenagakerjaan sebelumnya yang menjelaskan secara detail soal cuti atau istirahat panjang bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun di perusahaan yang sama.
Mempermudah perekrutan TKA
Pasal 42 tentang kemudahan izin bagi tenaga kerja asing (TKA) merupakan salah satu pasal yang paling ditentang serikat pekerja.
Pasal tersebut akan mengamandemen Pasal 42 UU Ketenagakerjaan Tahun 2003 yang mewajibkan TKA mendapat izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Jika mengacu pada Perpres Nomor 20 Tahun 2018, diatur TKA harus mengantongi beberapa perizinan seperti Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), Visa Tinggal Terbatas (VITAS), dan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). Pengesahan RUU Omnibus Law akan mempermudah perizinan TKA, karena perusahaan yang menjadi sponsor TKA hanya perlu membutuhkan RPTKA saja.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.