JAKARTA, KOMPAS.com - Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya meminta polisi tak bertindak represif dalam penanganan unjuk rasa menolak pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja.
"Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya meminta jajaran Polda Metro Jaya mengedepankan pendekatan pre-emptive (pencegahan melalui pengumpulan data intelejen dalam menentukan tindakan) dan persuasif (dialog) dalam penanganan unjuk rasa menolak pengesahan UU Cipta Kerja," kata Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya, Teguh P. Nugroho dalam keterangan resminya yang diterima Kompas.com, Jumat (9/10/2020).
"Dalam hal terjadi chaos, Ombudsman Jakarta Raya meminta untuk dirumuskan cara bertindak yang sesuai dengan prinsip proporsional dengan tetap memberikan jaminan tidak adanya kekerasan," tambah dia.
Baca juga: Kronologi Bentrokan 9 Jam di Jakarta, Massa Anarkistis Merusak Ibu Kota
Terlebih, Polri telah memiliki standar dalam penanganan unjuk rasa dengan mempertimbangkan situasi serta prinsip-prinsip sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2012.
Teguh menyatakan, Polri wajib untuk menghormati, melindungi, dan menegakkan hak asasi manusia dalam menjalankan tugas dan fungsinya dengan mempedomani Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2009 tentang implementasi prinsip dan standar HAM dalam penyelenggaraan tugas Polri.
“Sebisa mungkin tidak menggunakan pendekatan hukum atau yang sifatnya represif kecuali bagi yang melakukan pelanggaran atau terdapat dugaan tindak pidana,” lanjutnya.
Teguh berujar, penanganan demonstran oleh kepolisian memang berpotensi terjadi maladministrasi sehingga menjadi pelanggaran HAM berupa kekerasan oleh polisi.
Ombudsman Jakarta Raya meminta jajaran Polri untuk memastikan beberapa hal, termasuk arahan bertindak yang jelas oleh komandan agar anggota tidak mudah terprovokasi.
Baca juga: Data Anies, 20 Halte Rusak Dampak Demo Anarkistis, Kerugian Lebih dari Rp 55 Miliar
"Penggunaan alat kekuatan seperti gas air mata, pentungan, atau peluru hampa dan karet sesuai dengan prinsip proporsional, yaitu dengan memperhatikan keseimbangan antara jumlah peserta, bobot ancaman dengan petugas pengamanan," jelas Teguh.
"Untuk itu, fungsi intelijen sebagai informasi awal untuk mengetahui jumlah massa, bobot ancaman, dan perbandingan jumlah personel yang perlu diturunkan akan lebih memadai," kata dia.
Ia juga menyarankan agar kepolisian lebih piawai mengatur strategi rotasi personel di lapangan, demi menghindari kelelahan yang memicu emosi anggota akibat jam penanganan demonstrasi yang panjang.
"Penanganan unjuk rasa diharapkan untuk lebih bersifat menghalau, serta menghindarkan dari pengejaran dan atau penangkapan," ujar Teguh.
Ia menyoroti pula proses penegakan hukum terhadap orang-orang yang diduga melakukan tindak pidana saat berdemonstrasi.
Baca juga: 1.192 Orang yang Ditangkap Saat Demo di Jakarta Jalani Rapid Test, 34 Orang Reaktif
Teguh mendesak, khususnya kepada kepolisian agar dapat memastikan sejumlah hal, pertama-tama, yakni menghindari kekerasan terhadap oknum demonstran.
"Lalu tidak melakukan pemeriksaan terlebih dahulu kepada oknum pengunjuk rasa atau tersangka tanpa didampingi oleh penasehat hukum yang ditunjuk, sebagaimana hak tersangka yang diatur dalam KUHAP," kata Teguh.