Korban kemudian dirawat sejenak oleh tim kesehatan Muhammadiyah, sebelum dilakukan ke RSIJ Cempaka Putih.
4. Muhammadiyah minta polisi profesional, siapkan langkah hukum
Budi menyayangkan insiden penganiayaan oeh kepolisian ini. Hal ini jelas mencerminkan tindakan tidak profesional polisi.
"Kami meminta kepada aparat kepolisian untuk tetap profesional dan melindungi relawan kemanusiaan yang bertugas di lapangan," kata Budi.
Ia bilang, langkah hukum atas insiden ini akan dipercayakan kepada PP Muhammadiyah, dalam hal ini melalui ketua bidang hukum, Busyro Muqoddas.
"Langkah hukumnya sedang kami siapkan. Dari LBH Muhammadiyah Pusat sedang menyiapkan penyikapan apa, termasuk langkah hukum apa," ujar Ketua Bidang Hukum PP Muhammadiyah, Busyro Muqoddas kepada Kompas.com, Rabu (14/10/2020).
"Jika PP Muhammadiyah melakukan langkah hukum, kerangkanya sangat luas, untuk kepentingan luas, di mana sekaligus mengingatkan Polri bukan alat kekuasaan," imbuhnya.
5. Buka kemungkinan lapor Propam, tapi pesimistis diproses
Busyro tak menutup kemungkinan meski tak pula memastikan akan melapor ke Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri.
Sebagai prosedur hukum yang lazim dilakukan jika polisi bertindak tidak profesional, ia menyatakan siap lapor ke Propam, sekaligus siap-siap kecewa dengan proses hukum selanjutnya.
"Kalau mau prosedural ya ditempuh (lapor ke Propam) tapi ya siap kecewa saja," kata Busyro.
Setidaknya ada 2 alasan yang membuat Busyro cs siap kecewa dengan proses hukum seandainya mereka melapor ke Propam, yakni minimnya transparansi dan budaya komando di Korps Bhayangkara.
Baca juga: Relawan Dianiaya Polisi, Muhammadiyah Buka Kemungkinan Lapor Propam Meski Pesimistis
Ia mengambil contoh proses hukum terhadap kebrutalan polisi yang menyebabkan gugurnya dua mahasiswa demonstran di Kendari, Sulawesi Tenggara, pada demonstrasi tolak RKUHP tahun lalu.
"Proses terhadap polisi yang melakukan penembakan sampai tewas itu kan juga tidak terbuka oleh Polri," kata Busyro.
"Fakta itu maknanya apa? Maknanya, budaya ketertutupan, nutup-nutupi atau intransparansi semakin menguat di birokrasi, termasuk di birokrasi penegak hukum. Tidak hanya intransparansi tapi, maaf ya, itu brutal," lanjutnya.
Ketertutupan ini diperparah dengan budaya komando dalam tubuh Polri. Menurut Busyro, brutalitas aparat Polri ketika menangani demonstrasi sudah menjalar di dalam sistem.
"Kalau itu menunjuk kepada insiden yang jumlahnya cukup banyak dan itu menunjukkan tindakan yang sistemik secara nasional, berarti Propam-nya kan Propam Pusat, di bawah pimpinan Kapolri," kata Busyro.
"Sementara juga di kepolisian itu ada sistem komando, jalur komando, budaya komando. Ke Propam pun, melihat fakta yang sistemik itu bahwa (kekerasan oleh polisi) tidak hanya di demo sekali kemarin itu, maka propam juga menjadi pertanyaan secara substansial," ungkapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.