JAKARTA, KOMPAS.com - PP Muhammadiyah menegaskan, aparat penegak hukum seharusnya tidak berperan sebagai kepanjangan tangan penguasa ketika rakyat berunjuk rasa.
Hal ini disampaikan Ketua Bidang Hukum PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas menanggapi babak demi babak represi aparat yang terus bergulir dalam menangani demonstrasi, termasuk demo tolak UU Cipta Kerja sepekan terakhir.
"Polri bukan alat kekuasaan, sebagaimana TNI juga bukan alat kekuasaan sehingga harus bersikap," ujar Busyro kepada Kompas.com, Rabu (14/10/2020).
"Sikapnya secara etika dan norma berpihak kepada rakyat," lanjutnya.
Represi aparat terjadi dalam gelombang demonstrasi tolak UU Cipta Kerja selama sepekan terakhir, di mana anggota Muhammadiyah juga jadi salah satu korban.
Baca juga: 5 Fakta Kebrutalan Polisi terhadap Relawan Medis Muhammadiyah Saat Demo Tolak UU Cipta Kerja
Teranyar, empat orang relawan Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) dianiaya polisi tanpa sebab ketika menjalankan tugas kemanusiaan berjaga untuk korban bentrok demonstran dengan polisi di Jakarta, Selasa (13/10/2020).
Sebelumnya, Kamis (8/10/2020), sejumlah orang ditangkap tanpa dasar hukum. Bahkan, sejumlah wartawan yang tengah meliput turut ditangkap dan dianiaya hingga dirampas propertinya.
Busyro menganggap deretan kekerasan oleh aparat keamanan, khususnya polisi, mesti segera dikontrol oleh negara yang bukan hanya berarti pemerintah.
Selama ini, kekerasan demi kekerasan yang dilakukan polisi tak pernah jelas kelanjutan kasusnya, kendati diproses secara hukum.
Eks Pimpinan KPK itu menuturkan, tanpa dikontrol bersama oleh masyarakat sipil maupun pers, pembiaran justru akan membuat kian langgengnya kekerasan aparat terhadap rakyat dalam berbagai kesempatan.
Bagi Busyro, kekerasan aparat yang kian menjadi-jadi adalah sebuah "kebrutalan politik".
"Budaya ketertutupan, nutup-nutupi atau intransparansi semakin menguat di birokrasi, termasuk di birokrasi penegak hukum. Tidak hanya intransparansi tapi, maaf ya, itu brutal," ungkapnya.
"Kalau itu tidak dikontrol, maka hal seperti ini akan terjadi terus dan demokrasi itu adalah demokrasi yang kekerasan terus wujudnya, diwujudkan dengan kekerasan oleh aparat Polri," tambah Busyro.
PP Muhammadiyah disebut juga tengah merencanakan jalur hukum atas penganiayaan polisi terhadap para relawan medisnya.
Namun, Busyro menegaskan sekali lagi, pihaknya bukan hanya ingin membela relawannya dalam hal langkah hukum yang bakal ditempuh.
"Jika PP Muhammadiyah melakukan langkah hukum, kerangkanya sangat luas, untuk kepentingan luas," katanya.
"Koreksi terhadap kebrutalan oleh negara, kerusuhan oleh negara yang menjadi pusat atau sumber kerusuhan itu," tutul Busyro.
Kebrutalan aparat sebagai pemegang senjata dalam menghadapi rakyat bukan baru kemarin terjadi.
Pada tahun 2019 pun, parade gagah-gagahan Korps Bhayangkara sudah berlangsung dalam berbagai momen.
"Kejadian seperti kemarin itu kan juga pernah terjadi berkali-kali dalam tindakan-tindakan sejumlah aparat Polri di seluruh Indonesia ketika mengatasi demonstrasi," ucap Busyro.
Catatan Kompas.com sepanjang 2019, sedikitnya ada empat insiden besar yang menjadi bukti bahwa kekerasan polisi masih menjadi budaya laten dalam aneka kesempatan.
Pada Kerusuhan 21-22 Mei 2019, sedikitnya sembilan orang dilaporkan tewas, beberapa di antaranya terkonfirmasi ditembak peluru tajam.
Baca juga: Kontras Ungkap 7 Bentuk Kekerasan Polisi di Demo UU Cipta Kerja di Surabaya
Itu belum menghitung deretan kekerasan terhadap jurnalis, pengeroyokan anggota Brimob terhadap seorang warga, dan sulitnya pendampingan hukum bagi mereka yang dituduh provokator.
Kekerasan terhadap Orang Asli Papua juga terus terjadi. Bahkan, di Pulau Jawa yang akses informasi begitu terbuka, aparat merepresi dan menembakkan gas air mata ke dalam asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Agustus tahun lalu.
Masih di 2019, dua orang mahasiswa Universitas Halu Oleo, Immawan Randi dan Yusuf Kardawi gugur dengan luka tembak peluru tajam serta luka parah di kepala, ketika unjuk rasa tolak RKUHP di Kendari, Sulawesi Tenggara.
Desember 2019, polisi juga menjadi aktor dalam pemukulan warga dalam kerusuhan penggusuran Tamansari, Bandung, Jawa Barat.
Parade kekerasan oleh aparat Polri menyiratkan rasa penasaran pada Busyro cs mengenai muatan kurikulum Polri.
Busyro cs mengaku sempat mengusulkan agar Polri buka-bukaan soal kurikulum mereka.
"Kami sudah lama melakukan kajian ini. Salah satu hasil kajian itu dulu pernah kami sampaikan di depan Kapolri juga, sudah saatnya kurikulum pendidikan di Polri itu dibuka ke publik," ujarnya.
"Jangan-jangan kurikulum itu tidak mengandung filosofi yang sesuai dengan kemanusiaan, keadaban, keadilan, kesetaraan, dan kurikulum itu justru filosofinya mengandalkan pada violence (kekerasan) itu," jelas Busyro.
Mengungkap isi kurikulum pendidikan polisi menjadi vital dalam rangka mengontrol polisi yang kerap bertindak represif terhadap massa.
Apabila memang kurikulum pendidikan Polri bermasalah dan menjadi sebab di balik kekerasan aparat, maka hal itu bisa mengarah pada pembenahan Korps Bhayangkara secara lebih dalam.
"Kalau itu yang ada, kan harus dibuka. Dalam rangka itu, maka, kalau mau fundamental betul, tidak parsial, saatnya revisi UU Kepolisian secara terbuka," sebut Busyro.
"Kalau tidak, ya akan terulang terus dan kasihan masyarakat menjadi korban terus, ditembak seenaknya saja," imbuhnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.