JAKARTA, KOMPAS.com - Kematian yang diakibatkan oleh Covid-19 di Indonesia telah mencapai lebih dari 10.000 jiwa.
Salah satu pihak yang harus menyaksikan kematian demi kematian tersebut, ialah para tenaga kesehatan.
Bukan hanya menyaksikan kematiannya tetapi juga harus menyampaikan kabar buruk tersebut ke keluarga pasien.
Karena terlalu seringnya, dr. Gia Pratama, salah seorang personel tenaga kesehatan yang melakukan penanganan Covid-19 mengaku telah mati rasa.
“Sudah mati rasanya kayaknya aku sedihnya. Karena itu fase yang terus berulang,” jelas Gia.
Dalam fase penanganan Covid-19, Gia mengungkapkan terdapat tiga fase terkait relasi pasien dan dokter.
Baca juga: Solidaritas Warga Bekasi, Gelar Pasar Serba Rp 2.000 Bantu Tetangga yang Terdampak Pandemi
“Fase pertama saat harus ngasih tahu dia bahwa dia positif. Sudah kabar kurang gembira kan,”ujarnya.
Pada saat yang sama, tenaga kesehatan juga harus meyakinkan pasien bahwa mereka dapat sembuh dan harus optimis dalam melawan Covid-19.
“Harus ingat 99 persen pasien di bawah 50 tahun dan penyakit penyerta itu sembuh. Keyakinan akan kesembuhan itu 50 persen kesembuhan, itu yang aku bilang ke mereka,” ujar dia.
Fase kedua adalah fase ketika para pasien harus melakukan isolasi mandiri.
Fase ini juga merupakan saat yang berat bagi pasien, sebab tidak ada seorang pun, baik keluarga maupun kawan-kawannya, yang dapat menjenguk.
Peran tenaga kesehatan pun bertambah, untuk menjadi kawan bahkan keluarga dari para pasien.
“Kan enggak ada yang bisa jenguk kan. Jadi kita udah jadi keluarga keduanya. Visit gitu-gitu. Mantau kayak bagaimana kondisinya,” jelas Gia.
Selanjutnya, fase ketiga, yang merupakan ujung dari pengalaman Covid-19 para pasien, memiliki dua kemungkinan, yakni sembuh atau meninggal dunia.
“Kalau sembuh itu happy banget. Dia pulang, sehat, sudah negatif, dadah-dadah seneng banget, itu kayaknya.. Aduh enggak usah dibayar juga enggak apa-apa deh,” tukas Gia.