JAKARTA, KOMPAS.com - “Apa kabar kereta yang terkapar di Senin pagi. Di gerbongmu ratusan orang yang mati. Hancurkan mimpi bawa kisah. Air mata… air mata,” demikian lirik dari judul lagu 1910 milik Iwan Fals.
Iwan Fals merekam peristiwa kelabu yaitu Tragedi Kecelakaan Kereta di Bintaro, Jakarta pada 19 Oktober 1987.
“Sembilan belas Oktober tanah Jakarta berwarna merah...,” tulis Iwan Fals.
Lirik lagu Iwan Fals itu menggambarkan suasana kecelakaan kereta api di Bintaro tersebut.
Hari ini 33 tahun yang lalu, tepatnya pada 19 Oktober 1987, terjadi kecelakaan antara Kereta Api (KA) 225 Merak dengan Kereta Api (KA) 220 Rangkas di daerah Pondok Betung, Bintaro, Jakarta Selatan.
Baca juga: Wisata Horor di Lokasi Tragedi Bintaro Ilegal dan Nyaris Timbulkan Kecelakaan
KA Rangkas dan KA Merak bertabrakan dengan posisi adu banteng.
Kedua kereta ringsek karena benturan keras.
Ketika bertabrakan, gerbong pertama di belakang lokomotif terdorong ke muka dan "mencaplok" lokomotif di depannya.
Dua lokomotif melengkung casisnya dan tertutup gerbong pertama yang diseretnya.
Catatan Harian Kompas, lebih dari 156 orang meninggal dan ratusan lainnya mengalami luka-luka.
Kecelakaan ini tercatat sebagai peristiwa maut dan terburuk dalam sejarah perkeretaapian di Indonesia.
Kengerian di Bintaro 33 tahun silam merupakan sebuah kecelakaan yang disebabkan oleh kelalaian petugas.
Peristiwa bermula dari kesalahpahaman kepala Stasiun Serpong yang memberangkatkan KA 225 dengan tujuan Jakarta Kota.
Kereta itu berangkat menuju Sudimara tanpa mengecek kondisi di stasiun.
Alhasil, tiga jalur kereta yang berada di Stasiun Sudimara penuh akibat kedatangan KA 225.
Baca juga: Sejumlah Faktor yang Menyebabkan Tragedi Bintaro Terjadi...
Di sisi lain, KA 220 yang berada di Stasiun Kebayoran juga diberangkatkan tanpa komunikasi yang baik antara Stasiun Sudimara.
Kereta ini berada di jalur sebaliknya, yang mengarah ke Sudimara.
Kondisi itu memaksa juru langsir di Sudimara segera memindahkan lokomotif KA 225 menuju jalur tiga.
Masinis tak dapat melihat semboyan dari juru langsir karena ramainya jalur kereta.
Baca juga: Senin Kelam 19 Oktober 1987, Terjadinya Tragedi Bintaro...
Namun, KAA 225 yang seharusnya pindah rel tiba-tiba berangkat. Semboyan 35 dilakukan.
Upaya dari juru langsir dan PPKA untuk menghentikan KA 225 sia-sia.
Lokasi kecelakaan yang berada di tingkungan juga menyebabkan kedua masinis di kereta itu tak saling melihat.
KA 225 yang membawa tujuh gerbong akhirnya saling bertubrukan dengan KA 220 di Desa Pondok Betung pada pukul 06.45 WIB, kedua kereta ini saling bertabrakan.
KA 220 dengan kecepatan 25 kilometer per jam, sedangkan KA 225 dengan kecepatan 30 kilometer per jam saling beradu.
Soal kecepatan, kereta baru bisa berhenti total sekitar 200 meter setelah direm mendadak.
Sudah pasti ada usaha masinis untuk menghentikan laju kereta api, namun terdapat kendala karena peralatan rem yang digunakan sudah tua.
Baca juga: Senin Kelam 19 Oktober 1987, Terjadinya Tragedi Bintaro...
Dalam Tragedi Bintaro itu, masinis dan kondektur yang selamat dalam peristiwa itu mendapat sanksi tegas.
Harian Kompas pada 21 Oktober 1987 menjelaskan bahwa setelah peristiwa itu 15 orang petugas stasiun PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api) mendapatkan pemeriksaan intensif.
Setelah melalui proses yang lama, akhirnya petugas itu mendapatkan sanksi.
PPKA (Pemimpin Perjalanan Kereta Api) Sudimara dianggap bersalah karena memberikan persetujuan persilangan kereta dari Sudimara ke Kebayoran tanpa persetujuan sebelumnya dari PPKA Kebayoran.
PPKA Stasiun Kebayoran juga disalahkan karena tak berkoordinasi lebih lanjut dengan Sudimara.
Masinis KA 225 dipersalahkan karena begitu menerima bentuk tempat persilangan langsung berangkat tanpa menunggu perintah PPKA dan kondektur.
Harian Kompas edisi 20 Oktober 1987 menjelaskan bahwa KA 225 dan KA 220 merupakan kereta buatan Henschel, Jerman.
Masing-masing kereta memiliki bobot yang hampir sama, yaitu berkisar 90 ton.
Selain itu, keduanya menarik tujuh rangkaian gerbong yang masing-masing 35 ton.
Ketika peristiwa terjadi, KA 225 banyak membawa penumpang yang umumnya adalah karyawan yang bekerja di Jakarta.
Saat itu, banyak penumpang yang menaiki kereta tak pada tempatnya.
Artinya, penumpang naik dan menempati di sisi luar gerbong, atap, dan bahkan di ruangan masinis pada lokomotif utama.
Di KA 225, tiap gerbongnya tersedia 64 kursi rotan dengan triplek sebagai penyangga badan.
Saat itu, penumpang dalam kereta tak semuanya mendapatkan tempat duduk.
Dalam sebuah catatan Harian Kompas, banyak orang yang menaiki kereta di atap dan tak menggunakan kursi yang disediakan. Mereka mengaku lebih nyaman berada di luar.
Kondisi ini mengakibatkan ketidaknyamanan dan mengurangi keselamatan dalam perjalanan itu. Kereta api terpaksa berjalan hingga tujuan dalam kondisi membawa penumpang di bagian luar kereta.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.