JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio mengatakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta seharusnya tidak pandang bulu dalam menertibkan rumah di bantaran kali.
Aturan yang sudah ada menegaskan bahwa tidak boleh ada bangunan yang didirikan di bantaran sungai.
"Kita melihat aturannya, perdanya, juga peraturan undang-undangnya, bantaran kali itu tidak boleh ada bangunan apa pun," kata Agus kepada Kompas.com, Jumat (23/10/2020).
Agus mengemukakan hal itu untuk mengomentari pernyataan Walil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria. Riza sebelumnya mengemukakan, fokus membongkar perumahan yang dibangun di bantaran sungai bukan rumah semi permanen tetapi rumah-rumah mewah.
Baca juga: Wagub: Longsor di Ciganjur Jadi Evaluasi Pemprv DKI Soal Tata Ruang
Menurut Riza, contoh bangunan perumahan yang akan dibongkar adalah di perumahan Melati Residence di Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Turap bangunan perumahan itu longsor pada 10 Oktober ini dan menimbulkan banjir bagi kawasan sekitar.
"Ini pengusaha, ini orang yang berkecukupan, kok bangun rumah di pinggir sungai atau kali bantaran. Nah, ini yang menurut kami harus ditertibkan. Jadi bukan rumah-rumah masyarakat," ucap Riza.
"Tidak boleh ada bangunan persis di pinggir kali, apalagi ini perumahan. Beda sama rakyat yang enggak punya uang, enggak bisa beli tanah, yang terpaksa tinggal di bantaran sungai, itu beda," lanjutnya.
Baca juga: Pemprov DKI Pilih Bongkar Perumahan di Bantaran Sungai, tapi Biarkan Rumah Warga Miskin
Agus mendorong agar Pemprov DKI menertibkan seluruh bangunan yang melanggar aturan. Bukan hanya perumahan, bangunan lain yang melanggar aturan juga perlu dibongkar.
Karenanya, Agus menilai dalam menegakkan aturan itu Pemprov DKI tidak boleh tebang pilih.
"Semuanya harus bebas, karena itu akan menyebabkan banjir, kan aliran sungai terganggu. Aturannya tidak boleh, aturannya tidak bisa," ujar dia.
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga menyebutkan, lebar sungai di Jakarta saat ini mengalami penyempitan. Rata-rata lebar sungai hanya 15-20 meter saja.
Menurut dia, seluruh sempadan sungai juga harus bebas dari bangunan dengan jarak 10-15 meter. Lebar sungai di Jakarta juga harus ditambah menjadi minimal 35 meter.
"Syukur-syukur terbentuk 50 meter seperti lebar sungai tahun 1950-an. Taruhlah di angka 35, dari lebar 35 itu kiri-kanannya harus bebas bangunan 10-15 meter. Artinya selebar itulah minimal yang harus dibebaskan, mau ada permukiman mau ada bangunan, dibongkar," kata Nirwono pada Selasa lalu.
Hal itu dilakukan untuk menjaga agar tidak ada bangunan yang terdampak jika suatu saat tanggul penahan roboh karena tergerus aliran sungai.
Dia mengatakan, ada potensi musibah seperti di Ciganjur itu terulang kembali. Selama masih ada bangunan yang didirikan di atas tanggul, maka masih ada risiko bencana.
Bangunan yang menempel di sisi sungai itu juga mempersulit upaya pengerukan lumpur lantaran ekskavator maupun alat berat tidak dapat masuk ke permukiman.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.