DEPOK, KOMPAS.com - "Karena memang passion-nya ke situ, saya senang-senang saja," ungkap Widiana Pratiwi (30), Rabu (11/11/2020).
Ungkapan itu dilontarkan Wia, sapaan akrabnya, bukan dalam rangka memperbincangkan hobi soal pekerjaan atau bidang kesenian maupun olahraga favoritnya.
Ia tengah bicara mengenai suatu daya besar yang membuatnya jatuh cinta pada kerja-kerja kemanusiaan.
Di masa pandemi ini, ia pilih mengabdi sebagai relawan pemulasaraan jenazah pasien Covid-19 di Depok, Jawa Barat.
Wia tak menepis bahwa ini adalah satu dari segelintir pekerjaan yang berisiko tinggi.
Baca juga: 1.022 Orang Masih Positif Covid-19 di Depok, Ini Sebaran Kelurahannya
Belum lagi, pekerjaan ini pasti akan membawanya pada kengerian akibat pandemi Covid-19 dari jarak yang paling dekat.
"Setiap kali (memulasarakan jenazah pasien Covid-19) juga mengharukan. Ketika melakukan pemulasaraan terhadap jenazah bayi, itu juga menyentuh," ucap Wia.
"Tantangannya tentu karena pertama, saya kan tidak punya latar belakang bidang kesehatan, sebelumnya cuma ibu rumah tangga, ibaratnya. Lalu, saat kami harus menangani jenazah, tentu ada rasa takut, apalagi ketika proteksi diri tidak lengkap," tutur ibu dua anak tersebut.
Ketika pandemi Covid-19 mulai menggerayangi Indonesia pada Maret lalu, Kota Depok yang kala itu jadi lokasi pertama ditemukannya kasus SARS-CoV-2 disebut sangat membutuhkan relawan pemulasaraan jenazah pasien Covid-19.
Sistem kesehatan masih belum siap, sebagaimana yang terjadi pula di tempat-tempat lain.
"Saat itu kan Depok kewalahan, terutama untuk jenazah yang meninggal di rumah. Ternyata ada kejadian di mana banyak rumah sakit di Depok yang tidak menyediakan vendor atau tenaga pemulasaraan," kata Wia.
Baca juga: UPDATE 10 November: Tambah 80 Kasus di Depok, Dua Pasien Covid-19 Meninggal
"Kemudian, awalnya dikabari sama teman-teman di komunitas kami, disampaikan lah urgensinya kalau ikut sebagai relawan ini. Daerah saya termasuk tinggi yang terpapar maupun yang dikabarkan meninggal, baik di (Kelurahan) Pengasinan dan Bedahan," ucapnya.
Wia kedapatan tugas sebagai relawan pemulasaraan jenazah pasien Covid-19 di Kecamatan Sawangan.
"Saya bilang, jujur saja, saya takut. Lalu disampaikan, ini darurat, dalam artian rumah sakit banyak kewalahan dan Dinas Kesehatan juga mencari tenaga-tenaga yang memang siap untuk keluar rumah ketika dibutuhkan," ia bercerita.
Tak mudah baginya untuk membuat keputusan.
Namun, berbekal dorongan kuat dari dirinya untuk senantiasa mewakafkan umurnya pada kerja-kerja kemanusiaan, ia tak kuasa menampik tawaran tersebut, kendati ada resah pula di dalam dadanya.
"Insyaallah amal jariyah, walaupun takut, Mas," katanya.
Baca juga: Meski Pandemi Covid-19, Tingkat Partisipasi di Pilkada Depok Ditargetkan Naik 21,5 Persen
Jalan yang ditapakinya tentu bukan jalan yang mulus. Ketika sistem penanganan Covid-19 belum tertata rapi, kendala meruyak di mana-mana ketika Wia menghadapi tugasnya.
Wia mengakui, ia butuh waktu buat meyakinkan suaminya ketika ia hendak menempuh jalan nasib sebagai relawan pemulasaraan jenazah pasien Covid-19.
Ia sempat bilang, dirinya tak akan selalu turun ke lapangan karena ada puluhan relawan lain yang siap berbagi tugas.
"Kenyataannya, di lapangan banyak yang enggak turun, karena mungkin sama, takut. Akhirnya dengan kondisi itu, terutama di daerah saya di Sawangan dan Bojongsari, saya cuma sendiri waktu itu," ujar Wia.
"Di tempat saya, sudah RS bingung, jenazah berjam-jam belum ada penanganan, dengan bismillah akhirnya saya turun juga."
Baca juga: KPU Depok Optimistis Genjot Partisipasi Pemilih, Sebut Warga Sudah Terpolarisasi
Pada akhirnya, ia pun harus senantiasa siap tatkala sewaktu-waktu dipanggil untuk menuntaskan kerja kemanusiaan itu.
"Sejauh ini saya belum pernah malam-malam keluar, tapi sering malam-malam ditelepon, jadi eksekusinya pagi. Teman lain ada yang jam 01.00 mereka keluar," kisahnya.
"Ninggalin anak, lalu nitipin ke tetangga, waktu itu sudah biasa mas."
Wia juga menceritakan, alat pelindung diri (APD) sebagai urusan paling dasar baginya ketika berurusan dengan jenazah yang infeksius itu pun, tak selalu tersedia lengkap.
Medio Oktober lalu, persoalan minimnya APD menjadi salah keluhan utama ketika 25 dari 36 relawan pemulasaraan jenazah pasien Covid-19 di Depok, memilih mundur dari tugasnya.
"Itu dulu, sebelum (pemulasaraan jenazah pasien Covid-19 diurus) di Dinas Pemadam Kebakaran. APD tidak kami pegang, melainkan ada di kecamatan," sebut Wia, menyinggung bahwa sistem saat ini relatif lebih baik dan terkoordinasi.
"Jadi misalnya ada yang kurang, entah sarung tangannya tidak ada atau sarung kaki, saya harus ambil ke kecamatan lain. Itu kan juga akhirnya memperlambat waktu," ujarnya.
Baca juga: [UPDATE] Sebaran Pasien Covid-19 di Depok Per Kecamatan, Terbanyak Kini di Sawangan dan Sukmajaya
Tak berhenti sampai di situ, ia juga mesti melahap caci dan maki dari keluarga korban Covid-19 yang serba tak terima dengan keadaan.
Ia mengaku maklum, sebab butuh edukasi yang baik untuk mereka dapat memahami situasi.
Namun, dengan segala kerumitan itu, mengapa Wia tak ikut mundur? Apakah ia merasa sudah diganjar apresiasi yang layak dalam bentuk rupiah?
"Kami semua mau berterus terang soal kejelasan masalah proteksi saja. Nauzubillah min zalik, jangan sampai misalnya di antara kami tiba-tiba drop atau terpapar, itu sampai sekarang kami belum ada kejelasan pengobatan," jelasnya.
Baca juga: Pilkada Depok: 23 Pelanggaran Protokol Kesehatan Selama Kampanye Paslon
"Kalau honor layak atau tidak, saya bingung ukurannya ke apa, apakah ukurannya ke dokter dan tenaga kesehatan? Kalau dihitung nilai, saya pribadi enggak ngerti ukurannya apa. Sejauh ini kami tidak terikat (status) misalnya pekerja honorer atau gaji atau apa."
"Kita kemanusiaan saja. Saya juga bingung ukurannya apa," tutup Wia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.