JAKARTA, KOMPAS.com - Jika kebetulan melewati Jalan HOS Cokroaminoto dari arah Menteng menuju Kuningan, kemungkinan kita akan melihat seorang pria tua yang membawa peralatan cangkul, palu, dan alat-alat perkakas lainnya.
Gagang cangkul dia gunakan untuk menggantung sebuah kertas yang dilaminasi dengan isi tulisan "Beri Saya Kerja".
Pria bernama Sutrisno itu langsung menyambut Kompas.com dengan senyum dan menelungkupkan tangannya memberi tanda salam.
Dia menolak disebut tua, walapun dari ciri fisik yang antara lain rambut beruban, kulit keriput, dan beberapa gigi sudah tanggal.
"Masih muda kok," kata dia tersenyum. Dengan percaya diri Sutrisno mengatakan umurnya hanya setengah lebih tua dibandingkan reporter Kompas.com yang masih berusia 28 tahun.
Baca juga: Kisah Inu Ubah Pelepah Pisang Jadi Kerajinan Bernilai Jual
"Dua kali (usia) kamu, mungkin. Ha-ha-ha," kata Sutrisno seraya terbahak.
Untuk meyakinkan, Sutrisno mengeluarkan KTP-nya dari dompet yang ada di saku belakang celana. Barulah angka kelahiran yang tertera di KTP-nya tidak mau diajak berunding untuk dikatakan muda.
Pria yang sedang duduk mencari kerja di pinggir trotoar itu ternyata kelahiran 3 Juni, 78 tahun silam, atau tepatnya di tahun 1942. Usia yang dipandang dari sudut manapun tidak bisa disebut lagi muda.
"Saya sudah hidup (menjadi pemuda) dari zaman Trikora Irian Barat itu, kan banyak anak muda waktu itu semangat berjuang itu," kata dia.
Sutrisno bercerita, pandemi Covid-19 telah merenggut pekerjaannya sebagai buruh bangunan pada Maret 2020 lalu.
Dia awalnya bekerja sebagai buruh di sebuah proyek pembangunan di dekat Kedutaan Besar Jepang, Jalan MH Thamrin Jakarta Pusat.
Baca juga: Kisah Kakek Suharto Hidupi Istri dan 6 Anak dengan Rp 20.000 Per Hari di Masa Pandemi
Di sana dia biasa berjuang mencari penghidupan untuk dirinya. Sampai menginap, dan terkadang berjualan makanan untuk mendapat penghasilan tambahan.
Karena dia adalah pria senja yang hidup sebatang kara, hidup Sutrisno sehari-hari lebih banyak dihabiskan di luar rumahnya di Kalideres, Jakarta Barat.
Sebenarnya Sutrisno memiliki seorang anak perempuan dari istrinya yang sudah meninggal pada 1964 lalu.
Namun, ketika menceritakan anak sematawayangnya itu, suara Sutrisno bergetar.
"Anak saya satu-satunya kawin sama orang Bantul, sampai sekarang di Bantul. Karena pendidikannya enggak begitu (tinggi) itu, ikut suaminya ke Bantul, suaminya jualan. Itu, bagi saya itu enggak penting, yang penting cucu saya harus lebih baik daripada itu," kata dia.