JAKARTA, KOMPAS.com - Sekjen Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Danang Sasongko menuturkan bahwa kejadian pelecehan seksual oleh predator anak di ruang publik terbuka ramah anak (RPTRA) di Meruya Utara, bukan merupakan kasus pertama yang terjadi di Jakarta.
Sebelumnya, sempat terjadi peristiwa serupa di RPTRA Tebet.
"Bukan pertama kali. Ada dua. Di (RPTRA) Tebet pernah ada. Pelakunya orang luar," jelas Danang, Selasa (17/11/2020) malam.
Namun, kasus di Meruya Utara perlu disoroti lebih karena pelaku adalah petugas honorer RPTRA sendiri.
Baca juga: Predator Seks Anak di Kembangan adalah Penjaga Honorer RPTRA
"Saat ini pegawai honorer (jadi pelaku). Jadi RPTRA kecolongan. Ini teguran keras untuk pengelola RPTRA," ujar Danang.
Danang menyayangkan kejadian seperti ini berulang karena harusnya RPTRA menjadi ruang yang aman bagi anak.
"RPTRA harusnya jadi tempat aman untuk anak. Steril dari kejadian-kejadian seperti ini," jelas Danang.
Danang menjelaskan bahwa harus ada peran aktif dari polisi, masyarakat, serta pihak kelurahan untuk mencegah hal serupa terulang di masa depan.
"Pihak polisi harus usut tuntas kasus ini. Terus langsung amankan pelaku," ujarnya.
Baca juga: Petugas RPTRA Jadi Predator Anak, Lurah Kaget karena Pelaku Orang yang Santun
Di samping itu, Danang menuntut agar masyarakat turut andil peduli terhadap anak-anak, terutama
"Ini jadi peringatan buat semua termasuk buat ke masyarakat. Untuk masyarakat mau perduli. Saya pikir masyarakat harus pengawasan lebih ketat. Peduli," tegasnya.
Tak hanya itu, kelurahan selaku pembina dari RPTRA juga memiliki tanggung jawab moral untuk membantu penyelesaian kasus.
"(Kelurahan) ikut tanggung jawab secara moral. Membantu mengulik kasus secara tuntas. Bantu pihak kepolisian untuk kumpulkan barang bukti yang ada. Kadang pelaku pencabulan terhadap anak sulit ditangkap karena barang bukti kurang. Dampingi korban ini untuk tindak lanjut pendampingan. Psikososial dia. Rehab. Dan lakukan pengawasan," tambahnya.
Seleksi petugas pengelola pun harus lebih ketat.
Danang menjelaskan bahwa Dinas Perlindungan Perempudan dan Anak (PPA) juga harus lebih ketat menyeleksi petugas pengelola RPTRA.
"Tidak hanya kecakapan dalam pengasuhan anak yg dibutuhkan pengelola RPTRA. Tidak hanya kecakapan kewirausaahan, tapi juga bagaimana mereka mampu deteksi dini tentang kecurigaan tindak kekerasan terhadap anak," ujarnya.
Danang menambahkan bahwa latar belakang dari calon petugas pengelola RPTRA pun harus dicermati.
Salah satu caranya dengan melaksanakan psikotes saat screening calon petugas.
"Harus evaluasi dan screening pekerja yang benar-benar perspektif anak. Lalu juga kita harus tahu latar belakang mereka karena kebanyakan banyak jadi korban dendam belum hilang kemudian jadi pelaku," tambahnya.
Diketahui, seorang petugas honorer RPTRA berinisial ML (49) melakukan aksi pencabulan terhadap anak di bawah umur berinisial AA (14) di lokasi RPTRA Meruya Utara.
Ia ditangkap usai ibu dari AA melaporkan peristiwa terkait.
Awalnya, Ibu dari AA melihat pesan singkat yang dikirimkan ML kepada anaknya.
ML mengirimkan pesan singkat tersebut kepada ponsel milik ibu korban, sebab korban kerap menggunakan ponsel ibunya untuk bermain game.
Dalam pesan singkat tersebut, ML mengajak AA untuk melakukan hubungan seksual.
Ibu AA segera menanyakan hal tersebut pada anaknya. AA kemudian mengaku telah dicabuli oleh ML sebanyak 20 kali.
Mengetahui hal tersebut, Ibu dari AA langsung melapor polisi.
Imbas perbuatannya, ML telah dicopot dari pekerjaannya.
Ia juga telah ditangkap oleh Polsek Kembangan, pada Sabtu, (17/10/2020).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.