Dicky menuturkan, pandemi di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, masih belum tertangani dengan baik.
Ini terlihat dari persentase kasus positif atau positivity rate yang masih berada di atas 10 persen selama lebih dari empat bulan. Padahal, rekomendasi dari WHO seharusnya di bawah 5 persen.
"Jadi kalau di atas 10 persen udah empat bulan, itu bukan tinggi, itu namanya sangat tinggi. Karena artinya setiap hari kita itu banyak kasus positif di masyarakat yang tidak teridentifikasi karena lemahnya atau rendahnya kapasitas testing," kata Dicky.
Dicky menjabarkan tiga indikator yang harus dipenuhi apabila ingin melakukan pelonggaran. Menurut World Health Organization (WHO), indikator adanya pelonggaran harus dilakukan jika tren kasus Covid-19 menurun selama dua minggu.
Jakarta saat ini masih belum memenuhi kriteria pertama.
"Menurun, bukan naik turun. Menurun dengan naik turun itu beda. Jakarta itu naik turun, bukan menurun," tutur Dicky.
Indikator kedua adalah tingkat kasus positif atau positivity rate minimal sebesar 5 persen. Kondisi ini disebut akan lebih baik jika angkanya di bawah 5 persen.
Namun, jika melihat tren Covid-19 di Jakarta ataupun secara nasional, positivity rate masih di atas 5 persen.
Indikator terakhir adalah tidak ada kematian. Ketiga indikator itu, sebut Dicky, belum dipenuhi oleh Jakarta.
Baca juga: UPDATE 18 November: Tambah 110, Pasien Meninggal akibat Covid-19 Mencapai 15.503 Orang
"Ini kan dari sisi indikator yang diterapkan secara epidemiologi yang dianut oleh WHO untuk acuan ketika melakukan pelonggaran itu belum terpenuhi. Kan jelas belum terpenuhi, tapi kemudian dilakukan pelonggaran, mbok ya jangan longgar-longgar bangetlah," kata Dicky.
Kendati demikian, apabila mempertimbangkan sisi ekonomi, pelonggaran tersebut bisa dilakukan dengan sejumlah syarat ketat.
Untuk pelonggaran acara resepsi, Dicky meragukan penyelenggaraannya. Menurut dia, apabila resepsi pernikahan terpaksa diperbolehkan, harus ada batasan serta pengaturan acara.
"Jadi batasan tetap harus ada, dalam artinya melihat dari kondisi pengendalian pandemi yang belum baik, kemudian seberapa mampu kita me-manage keramaian itu," tutur Dicky.
Tak hanya itu, tamu juga perlu dibatasi. Menurut dia, untuk acara pernikahan, tamu dengan jumlah 50-100 orang masih dapat ditangani.
"Tapi, kalau ribuan, ya siapa yang bisa? Kecuali memang sudah terbangun suatu watak budaya disiplin yang ketat seperti Korea Selatan dan Jepang, itu berbeda," kata Dicky.