JAKARTA, KOMPAS.com - Sore hari, Kawiyan (67) merokok kretek di depan rumahnya. Ia sedang istirahat setelah bekerja sejak subuh.
Sehari-hari, ia berjualan tempe menggunakan motornya.
Ketika mentari belum muncul, Kawiyan harus pergi ke pabrik untuk mengambil tempe, kemudian menjualnya.
Pabrik itu tak jauh dari rumahnya, di dekat Kali Cipinang yang berada di Kelurahan Rambutan, Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur.
Baca juga: Hidup Tanpa Septic Tank, Ketika Warga Cipinang Harus Berdamai dengan Kali Tempat Buang Kotoran
Uang hasil jualan tempe ia gunakan untuk keperluan hidup sehari-hari, termasuk untuk membayar kontrakan.
Namun, tak hanya itu, Kawiyan juga harus berpikir soal istrinya di Pekalongan.
Sebab, sudah tiga tahun belakangan ini, istrinya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman.
"Ya biar ngirit aja. Di sini kan biaya hidup mahal. Sebagian hasil jualan tempe dikirim ke Pekalongan," kata bapak lima anak itu.
Kawiyan pun memutuskan memilih kontrakan yang lebih kecil.
"Yang penting bisa tidur," kata dia.
Kawiyan sudah lama tinggal di Jakarta. Ia pernah tinggal di Mampang Prapatan pada era 1970-an.
Namun, sejak 1986 hingga kini, ia tinggal Kelurahan Rambutan dan selalu tak jauh dari bantaran Kali Cipinang.
"Dulu kali masih belum ada pinggiran semennya. Airnya masih jernih," kenang Kawiyan.
Kini, Kali Cipinang yang ia kenal sejak dulu telah berubah. Warna airnya hitam pekat. Sampah-sampah menumpuk di pinggir.
Beberapa kali, sejumlah warga secara sengaja membuang tumpukan plastik ke sungai.