Luwes seperti sipil, tegas seperti Militer
Yang baru pertama kali berjumpa dengan Pak Dudung, pasti terkaget-kaget, karena sapaan pertamanya selalu, “Halo, apa kabar” dengan suara tinggi dan bernada gembira.
Sangat jarang ia menyapa formal, selamat pagi atau selamat siang.
Dudung lahir di Bandung, 19 November 1965, di tengah keluarga yang sangat sederhana, sebagai anak ke-6 dari 8 bersaudara.
Ayahnya, almarhum Achmad Nasuha, seorang PNS TNI Perbekalan dan Angkutan Kodam (Bekangdam) Kodam III/Siliwangi.
Ibunya, almarhumah Nasiyati seorang ibu rumah tangga. Mereka sekeluarga tinggal di sebuah barak sederhana di Jalan Belitung, yang bahkan pernah runtuh atapnya di tengah hujan lebat.
Sang Ayah meninggal karena sakit, dan Dudung menjadi yatim ketika dia berusia 12 tahun.
Ibunya kemudian melanjutkan amanah sebagai kepala rumah tangga membesarkan anak-anak dengan prihatin, mencari nafkah dengan membuat juadah dalam tampah, yang dijual di sekitar tempat tinggal mereka.
Hari-hari masa kecilnya dilalui dalam tuntunan agama Islam yang kuat, disertai falsafah etnis Sunda yang melekat, membekas di masa dewasa Dudung.
Selain itu, ayah juga sering berkisah tentang kakek Dudung yang seorang laskar rakyat yang ikut mempertahankan kemerdekaan di masa revolusi fisik.
Para tetangga yang sesama keluarga tentara di barak itu, mengenal Dudung sebagai remaja yang penolong, suka olahraga, periang, jago bermain gitar dan rajin membantu pekerjaan rumah tangga.
Ia selalu riang, banyak senyum, aktif di OSIS dan selalu bergitar kemana-mana dengan lagu-lagu Pance Pondaag yang menjadi favoritnya.
Penyuka olahraga tenis meja ini menempuh pendidikan menengah sampai lanjutan atas di Bandung sambil membantu mencari nafkah dengan berjualan kue tampah dan menjadi loper koran di sekitar sekolah dan tempat tinggalnya.
Loper koran sampai penjual klepon
Teman-teman SMA-nya tidak ada yang tahu “pekerjaan” utamanya ini. Seorang sahabat SMA-nya, di subuh buta melihat Dudung melintas cepat di depannya dengan mengayuh sepeda dan bertopi lebar.
Setumpuk koran tersampir di besi tengah sepedanya. Ia melemparkan Pikiran Rakyat dan Kompas ke halaman-halaman rumah pelanggan.
Cepat saja, karena setelahnya tugas lain menanti: mengantarkan juadah di dalam tampah hasil karya ibundanya ke kantin Makodam III/Siliwangi.
Kembali ke rumah, ia masih mencuci setumpuk pakaian kotor sekeluarga, dan baru setelah itu makan siang dan persiapan belajar menjelang masuk sekolah.
Cita-cita jadi tentara menghinggapi hampir semua anak lelaki yang tinggal di barak itu. Perang-perangan, dan adu lomba ketangkasan khas anak kolong, menjadi mainan mereka sehari-hari.
Dudung selalu jadi komandan dalam permainan ini. Lalu, apa yang kemudian mendorong penyuka musik campursari Jawa ini bertekad kuat menjadi perwira, bukan cuma tentara?
Awalnya sebuah kejadian di pagi hari. Dudung terbiasa mengantar kue tampah ke kantin di dalam Makodam III/Siliwangi, ketika matahari telah naik sepenggalah.
Semua tamtama di pos penjagaan telah mengenalnya dengan baik. Maka, ia terbiasa menjunjung tampah penuh kue melewati pos jaga, hanya diiringi suara permisi dan kepala yang mengangguk.