Sayang, hari itu ada seorang tamtama baru selesai pendidikan, yang berjaga di pos jaga.
“Kamu kok tidak izin mau masuk?” kata tamtama baru ini. Galak.
Tanpa menunggu jawaban Dudung, ia menyenggol keras tampah di tangan bocah ini. Kue kelepon tumpah, menggelinding ke sana kemari.
Awalnya, Dudung terdiam menatap kue buatan ibu kotor berlepotan tanah, tidak mungkin dijual lagi dan menjadi nafkah mereka hari itu.
Tapi sejurus, ia segera mengumpulkannya dan menghitung. Semua ada 55 buah.
Sambil jongkok mengumpulkan kue kelepon, ia membatin, “Awas, saya harus jadi perwira, dan bila saya perwira nanti saya tak akan jahat pada orang lain, apalagi anak buah saya.”
Ucapannya adalah doa. Dudung selalu ingat peristiwa yang makin membulatkan tekadnya itu.
Atas restu ibunda, ia kemudian mengejar cita-citanya ke Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) -nama Akademi Militer saat itu- di Magelang, Jawa Tengah.
Masuk AKABRI Darat di Magelang tahun 1985, ia lulus tepat waktu pada 1988, dan berlanjut satu tahun di kursus kecabangan infanteri di Bandung.
Selanjutnya, tour of duty-nya dimulai dari Ainaro-Timor-Timur, Denpasar-Bali, Aceh, Sumatera Selatan, Jakarta, Magelang sampai kembali lagi ke Jakarta
Beristrikan Rahma Setyaningsih, seorang sarjana pendidikan jurusan Bahasa Perancis yang juga berasal dari keluarga TNI, pasangan ini dikaruniai tiga orang anak.
Dua orang putri yang kini telah menjadi dokter gigi dan dokter umum: drg. Nadine Aqmarina Setyaningsih –yang belum berapa lama menikah dengan seorang anggota Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat.
Lalu dr. Nina Bonita Hasanah, yang baru saja menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, serta seorang putra, Mohammad Akbar Abdurachman, siswa kelas 2 SMA Taruna Nusantara, Magelang.
Tentara yang merdu bernyanyi dalam suara tenor ini, menjalani hampir 32 tahun karier militer mulai dari Letnan Dua sampai kini Mayor Jenderal.
Refleksi hidup yang ia jalani dengan keras dan sungguh hati, rupanya memang berawal dari masa remajanya menjadi loper koran dan penjual kue tampah karya ibunya.
Maka, jangan heran kalau keberpihakannya selalu pada mereka yang susah, prajurit paling bawah dalam kepangkatan TNI.
Kita tunggu kiprah “Sang Loper Koran Jadi Jenderal” selanjutnya. Semoga ia selalu amanah menjaga kedaulatan negara seperti Sumpah Prasetya Perwira Remaja yang diucapkannya 32 tahun silam di Istana Merdeka.
Penutup, saya ingin membagi sedikit dari banyak kutipan dalam bukunya nanti, yang semoga menjadi motivasi bagi banyak perwira muda di tanah air.
“Dalam jenjang organisasi TNI, kelompok yang paling sulit hidupnya, minimalis dalam pangan dan pakaian juga hiburan, adalah jenjang prajurit paling bawah. Para tamtama dan bintara. Padahal, merekalah ujung tombak TNI. Maka, apakah yang paling mereka harapkan dari komandannya? Mereka selalu berharap komandannya mampu meningkatkan kesejahteraan dirinya dan keluarganya.” (Dudung Abdurachman)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.