Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Imelda Bachtiar

Alumnus Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia (UI) tahun 1995 dan Pascasarjana Kajian Gender UI tahun 2010. Menulis dan menyunting buku bertema seputar memoar dan pemikiran tokoh berkait sejarah Indonesia, kajian perempuan, Peristiwa 1965 dan kedirgantaraan. Karyanya: Kenangan tak Terucap. Saya, Ayah dan Tragedi 1965 (Penerbit Buku Kompas-PBK, 2013), Diaspora Indonesia, Bakti untuk Negeriku (PBK, 2015); Pak Harto, Saya dan Kontainer Medik Udara (PBK, 2017); Dari Capung sampai Hercules (PBK, 2017).

Dudung Abdurachman, Loper Koran Jadi Jenderal

Kompas.com - 25/11/2020, 05:50 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Mbak, titip salam ya buat beliau, saya respect banget sama Pak Dudung, beliau ibarat Batman yang lawan Joker di Gotham City.

Demikian tulis seorang teman yang jurnalis, Haryo Adjie Nogo Seno, kemarin di laman media sosial saya.

Siapa tak mengenal Panglima Kodam (Pangdam) Jaya Jayakarta Mayor Jenderal TNI Dudung Abdurachman hari-hari ini?

Ia yang sejak Jumat lalu segera jadi buah bibir masyarakat, trending di media sosial karena ketegasan sikapnya, menerima ratusan karangan bunga simpati dan dukungan kepada institusi yang dipimpinnya.

Berbagai kalangan juga melakukan kunjungan ke kantornya, Makodam Jaya, Cililitan.

Baru tiga bulan bertugas sebagai Panglima di Kodam Ibu Kota negara, dilantik pada 6 Agustus 2020, Jenderal asal tanah Pasundan ini sudah larut dalam lima peristiwa yang membutuhkan ketegasan sikapnya.

Dalam urutan waktu, kelima peristiwa itu: penyerangan yang dilakukan seratusan anggota TNI ke banyak fasilitas milik masyarakat di Ciracas pada 30 Agustus 2020; melarang orasi dalam ziarah para purnawirawan TNI ke Taman Makam Pahlawan Utama Kalibata pada 30 September 2020.

Kemudian, bersama Kapolda, memimpin anak buahnya melunakkan massa mahasiswa dan buruh yang berdemo menentang UU Omnibus Law di Jakarta pada 7 Oktober 2020; serta terakhir ketegasannya seminggu lalu pada ormas Front Pembela Islam dan pemimpinnya, Rizieq Shihab.

Kumpulan peristiwa ini, terlebih yang terakhir, mendapat peliputan kuat media massa.

Ketegasan yang terpancar dari beberapa pilihan kata dan kalimatnya di depan wartawan sejak minggu lalu itu seperti menjawab dan menguatkan harapan masyarakat umum akan datangnya sikap tegas jajaran pimpinan nasional, khususnya pimpinan militer.

Kata-katanya tidak bersayap. Langsung. Lugas. Semua menuju dua sasaran yang sebelumnya selalu dihindari disebut para pejabat tinggi dalam sikap menentang.

Untuk FPI, ia menyebut: Bubarkan saja. Untuk pimpinannya Habib Rizieq Shihab dan pengikutnya ia menyebut: Menurunkan baliho HRS itu perintah saya. Saya hajar, siapa saja yang berniat mengganggu persatuan dan kedaulatan negara, akan berhadapan dengan saya dan TNI.

Sikap jenderal bintang dua berusia 55 tahun ini segera membuat tersentak, karena sejak beberapa tahun terakhir kita sengaja seperti dibiarkan “sendirian” melawan menebalnya radikalisme.

Saya bisa mencatat dan mengalami sendiri keadaan ini semakin dalam sejak kampanye Pemilihan Presiden 2019.

Beberapa teman baik mengirim pesan pribadi ke ponsel saya. Siapakah Jenderal Dudung, dan apakah ia memang begitu berani dan tegas?

Loper koran jadi Jenderal

Perkenalan saya dengannya dimulai hampir dua tahun yang lalu. Pertemuan tidak sengaja yang membuat Gubernur Akmil Mayjen Dudung Abdurachman yang waktu itu baru menjabat satu bulan, memercayakan buku memoarnya ditulis dan kemudian diterbitkan Penerbit Buku Kompas.

Pada 17 Desember 2018, kunjungan liburan bersama keluarga ke Magelang-Yogyakarta, kami mampir ke Museum Akademi Militer di Magelang.

Saya ingin menyerahkan beberapa buku Menjadi Taruna Akademi Militer (Penerbit Buku Kompas, 2017) ke Perpustakaan Akmil.

Kepala Penhumas Akmil saat itu, Letkol Inf Zulnalendra, menawarkan saya menyerahkan buku langsung pada Gubernur Akmil.

Saya setuju, dan dari obrolan itulah proses wawancara buku dengan Pak Dudung dan puluhan narasumber lain, dimulai.

Proses buku ini akhirnya sampai pada ujungnya. Buku memoar kepemimpinan ala Dudung Abdurachman nanti judulnya Loper Koran Jadi Jenderal, Seni Pemimpin Militer-Pengalaman Mayjen TNI Dudung Abdurachman, akan hadir pada pembacanya di awal tahun 2021.

Luwes seperti sipil, tegas seperti Militer

Yang baru pertama kali berjumpa dengan Pak Dudung, pasti terkaget-kaget, karena sapaan pertamanya selalu, “Halo, apa kabar” dengan suara tinggi dan bernada gembira.

Sangat jarang ia menyapa formal, selamat pagi atau selamat siang.

Dudung lahir di Bandung, 19 November 1965, di tengah keluarga yang sangat sederhana, sebagai anak ke-6 dari 8 bersaudara.

Ayahnya, almarhum Achmad Nasuha, seorang PNS TNI Perbekalan dan Angkutan Kodam (Bekangdam) Kodam III/Siliwangi.

Ibunya, almarhumah Nasiyati seorang ibu rumah tangga. Mereka sekeluarga tinggal di sebuah barak sederhana di Jalan Belitung, yang bahkan pernah runtuh atapnya di tengah hujan lebat.

Sang Ayah meninggal karena sakit, dan Dudung menjadi yatim ketika dia berusia 12 tahun.

Ibunya kemudian melanjutkan amanah sebagai kepala rumah tangga membesarkan anak-anak dengan prihatin, mencari nafkah dengan membuat juadah dalam tampah, yang dijual di sekitar tempat tinggal mereka.

Hari-hari masa kecilnya dilalui dalam tuntunan agama Islam yang kuat, disertai falsafah etnis Sunda yang melekat, membekas di masa dewasa Dudung.

Selain itu, ayah juga sering berkisah tentang kakek Dudung yang seorang laskar rakyat yang ikut mempertahankan kemerdekaan di masa revolusi fisik.

Para tetangga yang sesama keluarga tentara di barak itu, mengenal Dudung sebagai remaja yang penolong, suka olahraga, periang, jago bermain gitar dan rajin membantu pekerjaan rumah tangga.

Ia selalu riang, banyak senyum, aktif di OSIS dan selalu bergitar kemana-mana dengan lagu-lagu Pance Pondaag yang menjadi favoritnya.

Penyuka olahraga tenis meja ini menempuh pendidikan menengah sampai lanjutan atas di Bandung sambil membantu mencari nafkah dengan berjualan kue tampah dan menjadi loper koran di sekitar sekolah dan tempat tinggalnya.

Loper koran sampai penjual klepon

Teman-teman SMA-nya tidak ada yang tahu “pekerjaan” utamanya ini. Seorang sahabat SMA-nya, di subuh buta melihat Dudung melintas cepat di depannya dengan mengayuh sepeda dan bertopi lebar.

Setumpuk koran tersampir di besi tengah sepedanya. Ia melemparkan Pikiran Rakyat dan Kompas ke halaman-halaman rumah pelanggan.

Cepat saja, karena setelahnya tugas lain menanti: mengantarkan juadah di dalam tampah hasil karya ibundanya ke kantin Makodam III/Siliwangi.

Kembali ke rumah, ia masih mencuci setumpuk pakaian kotor sekeluarga, dan baru setelah itu makan siang dan persiapan belajar menjelang masuk sekolah.

Cita-cita jadi tentara menghinggapi hampir semua anak lelaki yang tinggal di barak itu. Perang-perangan, dan adu lomba ketangkasan khas anak kolong, menjadi mainan mereka sehari-hari.

Dudung selalu jadi komandan dalam permainan ini. Lalu, apa yang kemudian mendorong penyuka musik campursari Jawa ini bertekad kuat menjadi perwira, bukan cuma tentara?

Awalnya sebuah kejadian di pagi hari. Dudung terbiasa mengantar kue tampah ke kantin di dalam Makodam III/Siliwangi, ketika matahari telah naik sepenggalah.

Semua tamtama di pos penjagaan telah mengenalnya dengan baik. Maka, ia terbiasa menjunjung tampah penuh kue melewati pos jaga, hanya diiringi suara permisi dan kepala yang mengangguk.

Sayang, hari itu ada seorang tamtama baru selesai pendidikan, yang berjaga di pos jaga.

“Kamu kok tidak izin mau masuk?” kata tamtama baru ini. Galak.

Tanpa menunggu jawaban Dudung, ia menyenggol keras tampah di tangan bocah ini. Kue kelepon tumpah, menggelinding ke sana kemari.

Awalnya, Dudung terdiam menatap kue buatan ibu kotor berlepotan tanah, tidak mungkin dijual lagi dan menjadi nafkah mereka hari itu.

Tapi sejurus, ia segera mengumpulkannya dan menghitung. Semua ada 55 buah.

Sambil jongkok mengumpulkan kue kelepon, ia membatin, “Awas, saya harus jadi perwira, dan bila saya perwira nanti saya tak akan jahat pada orang lain, apalagi anak buah saya.”

Ucapannya adalah doa. Dudung selalu ingat peristiwa yang makin membulatkan tekadnya itu.

Masa pendidikan di Akmil. Dudung Abdurachman nomor dua dari kanan.Dokumentasi Dudung Abdurachman Masa pendidikan di Akmil. Dudung Abdurachman nomor dua dari kanan.

Atas restu ibunda, ia kemudian mengejar cita-citanya ke Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) -nama Akademi Militer saat itu- di Magelang, Jawa Tengah.

Masuk AKABRI Darat di Magelang tahun 1985, ia lulus tepat waktu pada 1988, dan berlanjut satu tahun di kursus kecabangan infanteri di Bandung.

Selanjutnya, tour of duty-nya dimulai dari Ainaro-Timor-Timur, Denpasar-Bali, Aceh, Sumatera Selatan, Jakarta, Magelang sampai kembali lagi ke Jakarta

Beristrikan Rahma Setyaningsih, seorang sarjana pendidikan jurusan Bahasa Perancis yang juga berasal dari keluarga TNI, pasangan ini dikaruniai tiga orang anak.

Dua orang putri yang kini telah menjadi dokter gigi dan dokter umum: drg. Nadine Aqmarina Setyaningsih –yang belum berapa lama menikah dengan seorang anggota Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat.

Lalu dr. Nina Bonita Hasanah, yang baru saja menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, serta seorang putra, Mohammad Akbar Abdurachman, siswa kelas 2 SMA Taruna Nusantara, Magelang.

Tentara yang merdu bernyanyi dalam suara tenor ini, menjalani hampir 32 tahun karier militer mulai dari Letnan Dua sampai kini Mayor Jenderal.

Refleksi hidup yang ia jalani dengan keras dan sungguh hati, rupanya memang berawal dari masa remajanya menjadi loper koran dan penjual kue tampah karya ibunya.

Maka, jangan heran kalau keberpihakannya selalu pada mereka yang susah, prajurit paling bawah dalam kepangkatan TNI.

Kita tunggu kiprah “Sang Loper Koran Jadi Jenderal” selanjutnya. Semoga ia selalu amanah menjaga kedaulatan negara seperti Sumpah Prasetya Perwira Remaja yang diucapkannya 32 tahun silam di Istana Merdeka.

Penutup, saya ingin membagi sedikit dari banyak kutipan dalam bukunya nanti, yang semoga menjadi motivasi bagi banyak perwira muda di tanah air.

“Dalam jenjang organisasi TNI, kelompok yang paling sulit hidupnya, minimalis dalam pangan dan pakaian juga hiburan, adalah jenjang prajurit paling bawah. Para tamtama dan bintara. Padahal, merekalah ujung tombak TNI. Maka, apakah yang paling mereka harapkan dari komandannya? Mereka selalu berharap komandannya mampu meningkatkan kesejahteraan dirinya dan keluarganya.” (Dudung Abdurachman)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Dua Anggota TNI yang Tersambar Petir di Cilangkap Sedang Berteduh di Bawah Pohon

Dua Anggota TNI yang Tersambar Petir di Cilangkap Sedang Berteduh di Bawah Pohon

Megapolitan
Imam Budi Hartono dan Partai Golkar Jalin Komunikasi Intens untuk Pilkada Depok 2024

Imam Budi Hartono dan Partai Golkar Jalin Komunikasi Intens untuk Pilkada Depok 2024

Megapolitan
Pembunuh Wanita 'Open BO' di Pulau Pari Baru 2 Bulan Indekos di Bekasi

Pembunuh Wanita "Open BO" di Pulau Pari Baru 2 Bulan Indekos di Bekasi

Megapolitan
Dua Anggota TNI Tersambar Petir di Cilangkap, Satu Orang Meninggal Dunia

Dua Anggota TNI Tersambar Petir di Cilangkap, Satu Orang Meninggal Dunia

Megapolitan
Pasien DBD Meningkat, PMI Jakbar Minta Masyarakat Gencar Jadi Donor Darah

Pasien DBD Meningkat, PMI Jakbar Minta Masyarakat Gencar Jadi Donor Darah

Megapolitan
Sembilan Tahun Tempati Rusunawa Muara Baru, Warga Berharap Bisa Jadi Hak Milik

Sembilan Tahun Tempati Rusunawa Muara Baru, Warga Berharap Bisa Jadi Hak Milik

Megapolitan
Fraksi PSI: Pembatasan Kendaraan di UU DKJ Tak Cukup untuk Atasi Kemacetan

Fraksi PSI: Pembatasan Kendaraan di UU DKJ Tak Cukup untuk Atasi Kemacetan

Megapolitan
Polisi Pesta Narkoba di Depok, Pengamat: Harus Dipecat Tidak Hormat

Polisi Pesta Narkoba di Depok, Pengamat: Harus Dipecat Tidak Hormat

Megapolitan
Belajar dari Kasus Tiktoker Galihloss: Buatlah Konten Berdasarkan Aturan dan Etika

Belajar dari Kasus Tiktoker Galihloss: Buatlah Konten Berdasarkan Aturan dan Etika

Megapolitan
Cari Calon Wakil Wali Kota, Imam Budi Hartono Sebut Sudah Kantongi 6 Nama

Cari Calon Wakil Wali Kota, Imam Budi Hartono Sebut Sudah Kantongi 6 Nama

Megapolitan
Sepakat Koalisi di Pilkada Bogor, Gerindra-PKB Siap Kawal Program Prabowo-Gibran

Sepakat Koalisi di Pilkada Bogor, Gerindra-PKB Siap Kawal Program Prabowo-Gibran

Megapolitan
Foto Presiden-Wapres Prabowo-Gibran Mulai Dijual, Harganya Rp 250.000

Foto Presiden-Wapres Prabowo-Gibran Mulai Dijual, Harganya Rp 250.000

Megapolitan
Pemprov DKI Diingatkan Jangan Asal 'Fogging' buat Atasi DBD di Jakarta

Pemprov DKI Diingatkan Jangan Asal "Fogging" buat Atasi DBD di Jakarta

Megapolitan
April Puncak Kasus DBD, 14 Pasien Masih Dirawat di RSUD Tamansari

April Puncak Kasus DBD, 14 Pasien Masih Dirawat di RSUD Tamansari

Megapolitan
Bakal Diusung Jadi Cawalkot Depok, Imam Budi Hartono Harap PKS Bisa Menang Kelima Kalinya

Bakal Diusung Jadi Cawalkot Depok, Imam Budi Hartono Harap PKS Bisa Menang Kelima Kalinya

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com