Dia juga mengkritik keterlambatan Pemprov DKI Jakarta menyerahkan draf KUA-PPAS 2021 yang seharusnya dilakukan minggu kedua bulan Juli sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 tahun 2020.
"Ini tanda bahwa Pak Anies sebagai Gubernur tidak taat aturan dalam mengelola uang rakyat," kata dia.
Sementara itu, Jupiter mengatakan, rancangan KUA-PPAS 2021 mestinya sudah mulai dibahas pada pertengahan Oktober lalu. Itu pun sudah termasuk tenggat waktu paling mepet.
Namun nyatanya, rancangan KUA-PPAS 2021 baru mulai dibahas 4 November 2020.
Akan tetapi, Pemprov DKI Jakarta menyatakan keterlambatan penyerahan draf KUA-PPAS baru terjadi kali ini.
Baca juga: Saat Ahok Bicara soal Gaji dan Tunjangan Anggota DPRD DKI yang Tak Wajar...
Dalam pidato jawaban Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang disampaikan oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria, keterlambatan penyerahan dokumen KUA-PPAS 2021 terjadi lantaran adanya refocussing anggaran.
"Terkait dengan keterlambatan penyerahan KUA-PPAS Tahun Anggaran 2021 kepada DPR Provinsi DKI Jakarta dapat kami sampaikan bahwa kondisi ini baru terjadi pada KUA-PPAS 2021," kata Ariza.
Hal ini membuat Pemprov DKI Jakarta melakukan penyesuaian nomenklatur, kodefikasi, dan kode rekening seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 90 Tahun 2019 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2020.
Rapat pembahasan rancangan KUA-PPAS 2021 menimbulkan polemik baru saat kegiatan tersebut dilakukan di Hotel Grand Cempaka Resort, Puncak, Jawa Barat, bukan di Gedung DPRD DKI Jakarta seperti biasanya.
Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDI-P Gembong Warsono mengatakan, alasan rapat digelar di Puncak demi ketenangan para anggota Dewan.
"Pertimbangan adalah menjaga ketenangan dari anggota Banggar (Badan Anggaran)," ujar Gembong.
Baca juga: DPRD Rapat Anggaran di Puncak demi Ketenangan, Formappi: Penyimpangan Terjadi di Tempat Tenang...
Menurut dia, ketenangan tersebut diperlukan karena Jakarta saat ini dalam situasi pandemi Covid-19.
Anggota Banggar merasa was-was apabila tempat pembahasan tidak memenuhi standar protokol kesehatan.
Pembahasan APBD 2021 dianggap tidak transparan. Hal ini menjadi pertanyaan bagi anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Demokrat Neneng Hasanah.
Neneng merasa Pemprov DKI Jakarta tidak serius dalam membahas APBD 2021.
Sebab, dokumen Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan KUA-PPAS 2021 tak kunjung ditampilkan dalam portal apbd.jakarta.go.id.
Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PSI Eneng Malianasari menyebutkan, transparansi anggaran di Pemprov DKI Jakarta mundur ke belakang.
Baca juga: Janji Anies dan Kritik soal Syarat NIK dan KK pada Smart E-budgeting
Eneng mempertanyakan sistem smart budgeting baru yang mengharuskan warga untuk mencantumkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Kartu Keluarga (KK).
Menurut Eneng, Pemprov DKI telah menghalangi hak masyarakat untuk mengawal dan mengawasi penggunaan uang rakyat.
Kebijakan ini disebut dapat membuat warga takut untuk mengungkapkan pendapatnya terkait APBD lantaran Pemprov telah mengantongi identitas yang bersangkutan.
Namun Ariza membantah hal tersebut.
Pembahasan APBD 2021 juga diwarnai dengan polemik besaran gaji anggota DPRD DKI.
Sebab, dalam dokumen Rencana Kerja Tahunan (RKT), setiap anggota DPRD DKI disebut akan mengantongi uang sebesar Rp 8,3 miliar setahun atau Rp 689 juta per bulan jika usulan anggaran itu lolos.