Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyusuri Riwayat Sungai Ciliwung, Sempat Berdamai dengan Ibu Kota di Zaman VOC

Kompas.com - 11/12/2020, 14:40 WIB
Ivany Atina Arbi,
Irfan Maullana

Tim Redaksi


JAKARTA, KOMPAS.com - Memasuki musim hujan, warga yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung diminta waspada karena debit air yang sewaktu-waktu bisa naik karena hujan deras serta membuat aliran sungai meluap dan merendam pemukiman mereka.

Persoalan Sungai Ciliwung akrab bagi warga Ibu Kota. Namun, apakah dulu hal ini juga terjadi? Mari kita simak ulasan berikut:

Pembangunan kanal pertama

Sungai Ciliwung yang panjangnya mencapai 130 kilometer merupakan satu dari 13 sungai yang melintasi Ibu Kota. Aliran sungai yang berhulu di Gunung Pangrango, Jawa Barat, ini telah menjadi saksi kehidupan manusia yang tinggal di sepanjang tepiannya untuk menjadikannya sumber kehidupan sejak ribuan tahun silam.

Dalam catatan sejarah, luapan air Sungai Ciliwung sudah terjadi sejak zaman kolonialisme perusahaan dagang VOC di bawah pemerintahan Kerajaan Belanda. Kala itu Sungai Ciliwung bersama Sungai Pesanggrahan, Cisadane, dan Angke, menjadi prasarana transportasi air dan pemasok air utama ke Batavia.

Baca juga: Tak Ada Penertiban Bangunan Liar di Bantaran Ciliwung Tahun Ini

Sejak VOC menancapkan kekuasaan di Batavia pada 1619, tata kelola air dan persoalan banjir sebenarnya telah menjadi momok pemerintah. Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen (1627-1629) bertekad membangun kota agar tidak terendam banjir di musim hujan dan menjadi sarang nyamuk.

Coen pun menggandeng ketua komunitas masyarakat China di Batavia saat itu, Kapitan Phoa Bing Ham, untuk membangun kanal di bagian alur Ciliwung yang lebar dan deras. Kanal dibangun dari wilayah Pejambon --kelak menjadi Benteng Frederik Hendrik lalu kini menjadi Masjid Istiqlal–- menuju wilayah Pancoran di Kota Tua.

Sistem kanal ini sempat memperlancar aliran sungai Ciliwung ke laut, jalur transportasi, sarana pertahanan, dan alur pemasok air kebutuhan kota.

Banjir dalam catatan sejarah

Dalam wawancara denga KompasTV, Arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Sonny Wibisono mengatakan, pembangunan kanal-kanal di Batavia untuk melancarkan aliran sungai awalnya berfungsi baik. Tanah yang kerap tergenang air di sejumlah titik, menjadi lebih kering dan dapat berfungsi untuk pertanian.

Kawasan di sekitar kanal-kanal yang dialiri Sungai Ciliwung pun berkembang menjadi kawasan ekonomi yang dinamis. Di sana sepanjang kanal-kanal yang dibangun VOC berdiri pertokoan, perhotelan, hingga villa mewah yang menjadi tempat tinggal pejabat VOC.

Namun, romantisme aliran Sungai Ciliwung dengan Batavia tidak berlangsung lama. dalam buku Membenahi Tata Air Jabotabek oleh AR Soehoed, seabad berselang Sungai Ciliwung lama-kelamaan tak sanggup lagi memikul beban hidrolis yang membebaninya.

Beban hidrolis tersebut didominasi oleh buangan limbah ekologis yang merupakan hasil dari aktivitas industri pengolahan tebu di daerah aliran Sungai Ciliwung. Pencemaran air yang mengalir di kanal-kanal kota pun membuat Batavia kekurangan air bersih, terutama pada musim kemarau.

Tingkat kenyamanan dan kualitas kesehatan menurun, wabah malaria pun meningkat. Setelah itu, mulailah kanal-kanal dibuka-tutup, dipindah, disudet, tanggul-tanggul dibuat, tetapi sangat tergesa-gesa dan tidak sempurna.

Daerah yang kerap dilanda banjir dalam kurun 1892 -1909 adalah wilayah Weltevreden di aliran Sungai Krukut, dan Ciliwung. Pada banjir tahun 1909 banjir melanda Waterlooplein (Lapangan Banteng) hingga menjadi danau besar. Layanan trem berhenti akibat luapan Ciliwung dan perkampungan warga Betawi terendam.

Baca juga: Kepala BBWSCC Sebut Normalisasi Ciliwung Setelah Lahannya Siap

Upaya Normalisasi

Sejak 1982 hingga kini, strategi normalisasi sungai, termasuk Sungai Ciliwung, menjadi program andalan bagi Gubernur DKI Jakarta untuk mencegah dan mengatasi banjir. Normalisasi sungai adalah metode untuk menyediakan alur sungai dengan kapasitas mencukupi guna menyalurkan air, terutama saat curah hujan tinggi.

Namun, aktivitas normalisasi selalu berjalan mandek dari gubernur ke gubernur sehingga berujung pada kembali meluapnya aliran air Sungai Ciliwung saat hujan deras.

Berdasarkan wawancara Kompas.com dengan Direktur Sungai dan Pantai, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR, Jarot Widyoko, 4 Februari 2020, terakhir kali Sungai Ciliwung dinormalisasi pada 2017.

Ia mengakui bahwa memang kewajiban Kementerian PUPR untuk menormalisasi Sungai Ciliwung. Namun, normalisasi itu harus diiringi dengan penertiban rumah warga yang tinggal di bantaran sungai.

Pemprov DKI memiliki kewajiban untuk membebaskan lahan warga yang memiliki rumah di bantaran Sungai Ciliwung. Karena hal itu belum terealisasi, normalisasi pun akhirnya terhambat.

Banjir sudah terjadi meskipun satu abad lalu persoalan sampah belum merajalela seperti sekarang di hulu hingga hilir Ciliwung. Artinya saat ini daya dukung Ciliwung bagi kehidupan manusia yang hidup di sepanjang tepiannya saat ini sudah melampaui ambang batas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ketua DPRD Sebut Masih Ada Kawasan Kumuh Dekat Istana, Pemprov DKI: Lihat Saja di Google...

Ketua DPRD Sebut Masih Ada Kawasan Kumuh Dekat Istana, Pemprov DKI: Lihat Saja di Google...

Megapolitan
Mobil Rubicon Mario Dandy Dilelang Mulai dari Rp 809 Juta, Kajari Jaksel: Kondisinya Masih Cukup Baik

Mobil Rubicon Mario Dandy Dilelang Mulai dari Rp 809 Juta, Kajari Jaksel: Kondisinya Masih Cukup Baik

Megapolitan
Sindikat Pencuri di Tambora Berniat Buka Usaha Rental Motor

Sindikat Pencuri di Tambora Berniat Buka Usaha Rental Motor

Megapolitan
PDI-P DKI Mulai Jaring Nama Bacagub DKI, Kader Internal Jadi Prioritas

PDI-P DKI Mulai Jaring Nama Bacagub DKI, Kader Internal Jadi Prioritas

Megapolitan
PDI-P Umumkan Nama Bacagub DKI yang Diusung pada Mei 2024

PDI-P Umumkan Nama Bacagub DKI yang Diusung pada Mei 2024

Megapolitan
Keluarga Tak Tahu RR Tewas di Tangan 'Pelanggannya' dan Dibuang ke Sungai di Bekasi

Keluarga Tak Tahu RR Tewas di Tangan "Pelanggannya" dan Dibuang ke Sungai di Bekasi

Megapolitan
KPU Jaktim Buka Pendaftarab PPK dan PPS untuk Pilkada 2024, Ini Syarat dan Jadwal Seleksinya

KPU Jaktim Buka Pendaftarab PPK dan PPS untuk Pilkada 2024, Ini Syarat dan Jadwal Seleksinya

Megapolitan
NIK-nya Terancam Dinonaktifkan, 200-an Warga di Kelurahan Pasar Manggis Melapor

NIK-nya Terancam Dinonaktifkan, 200-an Warga di Kelurahan Pasar Manggis Melapor

Megapolitan
Pembunuh Wanita 'Open BO' di Pulau Pari Dikenal Sopan oleh Warga

Pembunuh Wanita "Open BO" di Pulau Pari Dikenal Sopan oleh Warga

Megapolitan
Pengamat: Tak Ada Perkembangan yang Fenomenal Selama PKS Berkuasa Belasan Tahun di Depok

Pengamat: Tak Ada Perkembangan yang Fenomenal Selama PKS Berkuasa Belasan Tahun di Depok

Megapolitan
“Liquid” Ganja yang Dipakai Chandrika Chika Cs Disebut Modus Baru Konsumsi Narkoba

“Liquid” Ganja yang Dipakai Chandrika Chika Cs Disebut Modus Baru Konsumsi Narkoba

Megapolitan
Chandrika Chika Cs Jalani Asesmen Selama 3,5 Jam di BNN Jaksel

Chandrika Chika Cs Jalani Asesmen Selama 3,5 Jam di BNN Jaksel

Megapolitan
DPRD dan Pemprov DKI Rapat Soal Anggaran di Puncak, Prasetyo: Kalau di Jakarta Sering Ilang-ilangan

DPRD dan Pemprov DKI Rapat Soal Anggaran di Puncak, Prasetyo: Kalau di Jakarta Sering Ilang-ilangan

Megapolitan
PDI-P Mulai Jaring Nama Buat Cagub DKI, Kriterianya Telah Ditetapkan

PDI-P Mulai Jaring Nama Buat Cagub DKI, Kriterianya Telah Ditetapkan

Megapolitan
DPRD dan Pemprov DKI Rapat di Puncak, Bahas Soal Kelurahan Dapat Anggaran 5 Persen dari APBD

DPRD dan Pemprov DKI Rapat di Puncak, Bahas Soal Kelurahan Dapat Anggaran 5 Persen dari APBD

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com