JAKARTA, KOMPAS.com - Tepat 71 tahun lalu, pada 30 Desember 1949, Menteri Penerangan Republik Indonesia Serikat (RIS) Arnoldus Isaac Zacharias Momonutu meresmikan nama Jakarta sebagai nama Ibu Kota Negara.
Peresmian ini dilakukan untuk menegaskan agar tidak ada lagi pihak yang menggunakan nama Batavia untuk merujuk pada Ibu Kota Negara Indonesia.
Di masa penjajahan Jepang, nama Jakarta sebenarnya sudah digunakan untuk merujuk kota pusat pemerintahan. Secara administratif, nama resmi ibu kota di kala itu adalah Jakarta Tokubetsu Shi.
Sebelumnya, selama lebih dari 300 tahun tepatnya sejak 1621 hingga 1942, nama resmi dari ibu kota pusat pemerintahan Hindia-Belanda adalah Batavia.
Batavia sendiri adalah nama yang diberikan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Jan Pieterzoon Coen. Nama ini berasal dari nama etnis Jermanik yang bermukim di tepi Sungai Rhein, dan dianggap sebagai nenek moyang bangsa Belanda dan Jerman, Bataf.
Bangsa Belanda sangat mengagungkan nenek moyangnya sehingga mereka merasa perlu mengabadikan nama Batavia di negeri jajahannya, termasuk di Indonesia.
Melalui kesepakatan De Heeren Zeventien (Dewan 17) dari VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie), pada 4 Maret 1621, Batavia diputuskan sebagai nama resmi dari kota pusat pemerintahan Hindia-Belanda.
Baca juga: Napak Tilas Sejarah Indonesia Lewat Penjara Bawah Tanah di Museum Sejarah Jakarta
Sebelum nama Jakarta dan Batavia muncul, sebenarnya nama "Sunda Kelapa" sudah terlebih dahulu digunakan untuk merujuk pada wilayah yang dijadikan lokasi Ibu Kota Indonesia saat ini.
Dalam buku Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa (2010) karya Restu Gunawan, diketahui bahwa nama Sunda Kelapa sudah eksis sejak periode Prasasti Kebon Kopi, peninggalan Kerajaan Tarumanegara yang ditulis pada 942 M.
Nama Sunda Kelapa digunakan untuk merujuk pada sisi barat laut pusat pemerintahan Tarumanegara yang kerap kelimpasan banjir dari luapan Sungai Ciliwung saat musim hujan tiba.
Dirangkum dari portal Indonesia.go.id, setelah berada di bawah kekuasaan Kerajaan Galuh-Pakuan pada abad ke-12, nama wilayah ini tetaplah Sunda Kelapa.
Kemudian, berdasarkan catatan sejarawan Indonesia Adolf Heukeun dalam laporan yang disimpan di Torre de Tombo Lisabon, wilayah Sunda Kelapa tak berubah nama meski Kerajaan Galuh-Pakuan ditundukkan oleh Portugis pada 1511.
Barulah kemudian pada 22 Juni 1527, nama Sunda Kelapa berganti menjadi "Jayakarta" untuk memperingati momen terusirnya Portugis dari sana. Penaklukkan ini dipimpin oleh Panglima Kesultanan Demak Fatahillah.
Orang dari wilayah Eropa, jazirah Arab, maupun pesisir China yang singgah umumnya menyebut Jayakarta dengan nama “Jacatra”. Hingga tahun 1619, sebelum nama Batavia digunakan, orang Belanda pun masih menyebut wilayah ini sebagai “Jacatra”.
Baca juga: Yuk Belajar Sejarah Jakarta lewat 5 Museum Ini
Pada 1942, sejalan dengan kebijakan ‘de-Nederlandisasi’ oleh Pemerintah Jepang, nama kota sengaja diganti dengan bahasa Indonesia atau Jepang. Nama Batavia kemudian berubah menjadi Jakarta sebagai akronim Jayakarta.