Akibatnya, kawasan Kota Tua di sekitar Museum Fatahillah sekarang ini ditinggalkan penduduk. Mereka, terutama orang Belanda dan Eropa, hijrah ke daerah selatan Jakarta di sekitar Weltevreden (belakang Istana Merdeka hingga Stasiun Gambir).
Di awal abad ke 18, banjir tahunan mulai muncul di aliran Sungai Ciliwung dan menyelimuti Batavia.
Hingga pertengahan abad silam, tahun 1940-an, wartawan Alwi Shahab dalam Robin Hood dari Betawi menuliskan bahwa aliran sungai masih jernih. Ciliwung pun digunakan sebagai tempat mandi, mencuci, dan mengambil air wudu.
Baca juga: Saat Gunung Sampah Bersatu dengan Sungai Ciliwung...
Itulah masa-masa keemasan Ciliwung dari masa Kerajaan Pakuan Pajajaran hingga runtuhnya kolonialisme Belanda.
Memasuki era modern, polusi di aliran sungai tersebut semakin tak terkendali. Banyak permukiman kumuh bermunculan di bantaran sungai. Sampah pun bertebaran di sekitarnya.
Kemunduran ini berbanding terbalik dengan transformasi sungai-sungai yang mengalir di Ibu Kota negara Asia lain, seperti Korea Selatan dengan Sungai Han dan Thailand dengan Sungai Chao Phraya.
Potret-potret kedua sungai tersebut di masa lalu memperlihatkan deretan rumah panggung yang reot dan kumuh. Seiring berjalannya waktu, perbaikan dilakukan sehingga sungai menjadi bersih dan bahkan menjadi daya tarik wisata.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.