Namun, setelah dilakukan pencarian hingga Kamis (19/9/2019) pesawat juga belum terlihat.
"Setelah kita cari dari pagi sampai siang dengan kondisi cuaca sangat bagus, kerawanan hampir tidak ada, pesawat belum juga bisa terlihat," kata Yohanis, 20 September 2019.
Baca juga: Fakta Baru Pencarian Rimbun Air di Papua, Diduga Serpihan Pesawat hingga Fokus Evakuasi Korban
Tim SAR gabungan kemudian mencari keberadaan pesawat berdasarkan petunjuk lokasi terakhir yang dilaporkan, yakni lembah di bawah tebing di titik 37,5 notical mile pada radial 056 derajat pada menit 01.59 UTC.
Pesawat sempat terdeteksi terbang pada ketinggian 14.200 feet, di kawasan tebing pegunungan. Posisi tersebut mengindikasikan pesawat mengalami insiden di lokasi 15 mile dari Ilaga, Kabupaten Puncak, atau sekitar 42,5 mile dari Timika, Mimika.
Pesawat Lion Air JT 610 dengan rute Jakarta-Pangkal Pinang yang jatuh di sekitar perairan dekat Karawang, Jawa Barat, pada 29 Oktober 2018 juga tidak memancarkan sinyal ELT.
Pesawat tersebut membawa 181 penumpang, terdiri dari 178 penumpang dewasa, 1 penumpang anak-anak, dan 2 bayi. KNKT awalnya menduga pesawat tidak memancarkan sinyal ELT karena pilot tidak mengaktifkannya atau disebabkan pesawat yang jatuh ke perairan.
Baca juga: Kronologi, Fakta, dan Misteri Jatuhnya Boeing 737-500 Sriwijaya Air SJY 182
Berdasarkan laporan akhir (final report) investigasi kecelakaan pesawat JT610 yang dirilis pada 25 Oktober 2019, KNKT menyimpulkan ada sembilan faktor yang berkontribusi pada kecelakaan yang menewaskan 189 penumpang dan awak pesawat itu.
Secara garis besar penyebabnya adalah gabungan antara faktor mekanik, desain pesawat, dan kurangnya dokumentasi tentang sistem pesawat.
Selain itu, faktor lain yang berkontribusi adalah kurangnya komunikasi dan kontrol manual antara pilot dan kopilot, beserta distraksi dalam kokpit.
Temuan tersebut berdasarkan bukti rekaman data dan percakapan selama penerbangan yang menyimpulkan bahwa kopilot tidak familiar dengan prosedur, walau telah ditunjukkan cara mengatasi pesawat saat training.
Pesawat Air Asia QZ 8501 rute Surabaya-Singapura yang jatuh di sekitar wilayah udara Tanjung Pandan dan Pontianak pada 28 Desember 2014 juga dilaporkan tidak memancarkan sinyal ELT.
Pesawat yang mengangkut 155 penumpang dan 7 awak kabin itu sempat menghubungi Air Traffic Control Bandara Soekarno-Hatta untuk meminta izin bergeser ke kiri dan naik ke ketinggian 38.000 kaki dari 32.000 kaki.
Baca juga: Tak Kuat Menahan Tangis, Yaman: Istri dan 3 Anak Saya Jadi Penumpang Sriwijaya Air SJ 182
Permintaan untuk ke kiri disetujui, namun untuk menaikkan ketinggian ditolak ATC Bandara Soetta. Pesawat kemudian dilaporkan hilang kontak.
Setelah melakukan investigasi secara menyeluruh dibantu oleh tim investigasi Australia (ATSB), Perancis (BEA), Singapura (AAIB), dan Malaysia (MOT), KNKT menyimpulkan ada lima faktor yang menjadi penyebab jatuhnya QZ 8501.
Pertama, komponen yang cacat yang terdapat dalam modul elektronik rudder travel limiter (RTL) pesawat, yang menyebabkan pesan peringatan muncul berkali-kali di layar kokpit.
Kedua, faktor perawatan pesawat dan analisa di maskapai Indonesia AirAsia yang dinilai belum optimal, sehingga masalah RTL tersebut tidak terselesaikan secara sempurna.
Lalu, langkah yang diambil awak pesawat yang tidak bisa mengatasi masalah RTL. Gangguan yang muncul berkali-kali tidak bisa diselesaikan dengan baik. Hal itulah faktor keempat penyebab jatuhnya pesawat.
Sementara faktor kelima adalah awak pesawat yang tidak bisa melakukan prosedur keluar dari kondisi upset pesawat (upset recovery).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.