Draf berisi pasal-pasal secara rinci yang menuai kontroversi pada 2019 tak lagi disertakan.
Pemkot Depok hanya memuat garis besar raperda dalam bentuk naskah ringkas/executive summary ketika mengusulkan raperda itu ke parlemen tahun lalu.
Dalam naskah ringkasnya, urusan privat warga tak dicampuri terlalu jauh seperti dalam naskah versi 2019.
Baca juga: Mengintip Isi Raperda Kota Religius yang Diusulkan Pemkot Depok
Raperda Kota Religius yang diusulkan tahun 2020 justru terkesan menjamin setiap kegiatan keagamaan di Kota Depok memiliki payung hukum.
Dalam naskah ringkas yang dikirimkan Ketua Bapemperda DPRD Kota Depok, Ikravany Hilman, kepada Kompas.com, sistematika Raperda Kota Religius terdiri dari tujuh bagian.
Pada Bab II, Pemkot Depok menyatakan bahwa raperda itu bertujuan untuk "memberikan landasan secara yuridis dalam upaya memberikan perhatian dan upaya yang lebih luas untuk terwujudnya hal yang dimaksudkan".
Bagian utama raperda ini ada di Bab III dan IV. Namun patut dicatat bahwa belum ada turunan ketentuan yang ketat untuk bisa dijadikan pegangan, sehingga ketentuan dalam bab-bab itu, sebagaimana diuraikan di bawah ini, masih multitafsir.
Pada Bab III berjudul "Pemeliharaan Keyakinan Beragama" dinyatakan bahwa "pemeliharaan, peningkatan dan penjagaan keyakinan beragama dilakukan oleh seluruh pemeluk agama sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing".
Pemerintah daerah ditugasi untuk memfasilitasi upaya tadi sesuai dengan porsi kewenangannya, porsi kewenangan ini belum diatur sejauh apa.
Lembaga keagamaan juga dapat bantu membina dan membimbing umatnya, dengan pemerintah daerah berperan memfasilitasi sesuai porsi kewenangannya, lagi, porsi kewenangan ini belum diatur sejauh mana.
Kemudian, setiap pengusaha baik perorangan atau badan wajib memberi kesempatan kepada pegawai untuk beribadah sesuai agama masing-masing. Para pekerja juga harus disediakan sarana ibadah yang layak sesuai ketentuan undang-undang.
Ketentuan penyediaan sarana ibadah yang layak ini juga meliputi tempat-tempat seperti pusat perbelanjaan.
"Pemerintah daerah sesuai kewenangan dan kemampuannya memfasilitasi pengembangan sarana/ prasarana peribadatan, seperti pemberian hibah pembangunan tempat ibadah dan pengembangan sarpras lainnya," bunyi salah satu ketentuan pada raperda itu.
Ada enam agama yang diakui pemerintah Indonesia, lantas apakah akan ada enam sarana ibadah di dalam kantor atau mal berkat perda religius kelak?
Hal itu berpotensi jadi masalah di kemudian hari. Namun ketentuan lebih jauh mengenai hal itu belum disinggung sama sekali dalam naskah ringkas tadi.