DEPOK, KOMPAS.com - Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Kota Depok, Jawa Barat, meminta pemerintah kota segera merumuskan naskah akademik Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kota Religius yang sudah masuk dalam proses pembahasan di parlemen.
"Kalau mau dibahas di bulan April, saya minta Februari atau awal Maret sudah ada naskah akademik dan draf raperdanya," kata Ketua Bapemperda DPRD Kota Depok, Ikravany Hilman, kepada wartawan, Rabu (13/1/2021).
Naskah akademik, menurut Ikra, penting agar proses perumusan Raperda Kota Religius itu transparan dan dapat melibatkan masukan warga.
Baca juga: Pemkot Depok Jamin Tak Akan Atur Cara Berpakaian Warga dalam Perda Kota Religius
"Supaya DPRD bisa lihat masukan dari warga bagaimana, NU gimana, Muhammadiyah gimana, lembaga gereja gimana, Hindu gimana. Kami harus dengarkan semuanya," tambahnya.
Raperda itu masuk ke DPRD Depok dengan ragam kontroversi yang mengiringi.
Tahun 2019, usulan Raperda Kota Religius dari Pemerintah Kota Depok ditolak dewan menyusul pro-kontra beleid tersebut dikhawatirkan memberi ruang bagi pemerintah mencampuri urusan privasi warga.
"Kami ingin ada public expose. Jangan ada sembunyi-sembunyi karena ini mengatur hal yang sangat pribadi sifatnya, supaya warga tahu bahwa akan ada hal-hal yang sifatnya privat yang mungkin akan diatur pemerintah kota," kata Ikra.
"Kalau pemerintah kota bilang nggak ada (intervensi terhadap urusan privat warga dalam perda kota religius ), ya sudah, coba tunjukkan. Maka itu naskah akademik harus ada," lanjutnya.
Pemerintah Kota Depok tak mau surut dalam upaya menjadikan Depok sebagai kota "religius" sebagaimana tercantum dalam visi pasangan wali kota dan wakil wali kotanya: nyaman, unggul, dan religius.
Upaya itu dituangkan dengan sebisa mungkin meloloskan Raperda Kota Religius itu ke DPRD.
Tahun 2019, rancangan itu ditolak karena dianggap mencampuri urusan privat warganya.
Sorotan publik begitu deras saat itu jarena raperda itu memberi ruang bagi pemerintah menentukan urusan agama warganya, mulai dari menentukan definisi perbuatan yang dianggap tercela, praktik riba sampai aliran sesat dan perbuatan syirik.
Bahkan, etika berpakaian pun diatur di situ.
Pada Mei 2019, Pemerintah Kota Depok menjelaskan bahwa pasal-pasal itu hasil saduran dari aturan sejenis di Tasikmalaya, Jawa Barat, dan tak merepresentasikan maksud pemerintah dalam upaya mewujudkan kota religius.
Tahun 2020, Pemkot Depok kembali mengusulkannya ke DPRD dan rancangan peraturan itu lolos ke tahap pembahasan.
Draf berisi pasal-pasal secara rinci yang menuai kontroversi pada 2019 tak lagi disertakan.
Pemkot Depok hanya memuat garis besar raperda dalam bentuk naskah ringkas/executive summary ketika mengusulkan raperda itu ke parlemen tahun lalu.
Dalam naskah ringkasnya, urusan privat warga tak dicampuri terlalu jauh seperti dalam naskah versi 2019.
Baca juga: Mengintip Isi Raperda Kota Religius yang Diusulkan Pemkot Depok
Raperda Kota Religius yang diusulkan tahun 2020 justru terkesan menjamin setiap kegiatan keagamaan di Kota Depok memiliki payung hukum.
Dalam naskah ringkas yang dikirimkan Ketua Bapemperda DPRD Kota Depok, Ikravany Hilman, kepada Kompas.com, sistematika Raperda Kota Religius terdiri dari tujuh bagian.
Pada Bab II, Pemkot Depok menyatakan bahwa raperda itu bertujuan untuk "memberikan landasan secara yuridis dalam upaya memberikan perhatian dan upaya yang lebih luas untuk terwujudnya hal yang dimaksudkan".
Bagian utama raperda ini ada di Bab III dan IV. Namun patut dicatat bahwa belum ada turunan ketentuan yang ketat untuk bisa dijadikan pegangan, sehingga ketentuan dalam bab-bab itu, sebagaimana diuraikan di bawah ini, masih multitafsir.
Pada Bab III berjudul "Pemeliharaan Keyakinan Beragama" dinyatakan bahwa "pemeliharaan, peningkatan dan penjagaan keyakinan beragama dilakukan oleh seluruh pemeluk agama sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing".
Pemerintah daerah ditugasi untuk memfasilitasi upaya tadi sesuai dengan porsi kewenangannya, porsi kewenangan ini belum diatur sejauh apa.
Lembaga keagamaan juga dapat bantu membina dan membimbing umatnya, dengan pemerintah daerah berperan memfasilitasi sesuai porsi kewenangannya, lagi, porsi kewenangan ini belum diatur sejauh mana.
Kemudian, setiap pengusaha baik perorangan atau badan wajib memberi kesempatan kepada pegawai untuk beribadah sesuai agama masing-masing. Para pekerja juga harus disediakan sarana ibadah yang layak sesuai ketentuan undang-undang.
Ketentuan penyediaan sarana ibadah yang layak ini juga meliputi tempat-tempat seperti pusat perbelanjaan.
"Pemerintah daerah sesuai kewenangan dan kemampuannya memfasilitasi pengembangan sarana/ prasarana peribadatan, seperti pemberian hibah pembangunan tempat ibadah dan pengembangan sarpras lainnya," bunyi salah satu ketentuan pada raperda itu.
Ada enam agama yang diakui pemerintah Indonesia, lantas apakah akan ada enam sarana ibadah di dalam kantor atau mal berkat perda religius kelak?
Hal itu berpotensi jadi masalah di kemudian hari. Namun ketentuan lebih jauh mengenai hal itu belum disinggung sama sekali dalam naskah ringkas tadi.
Beralih ke Bab IV, pemerintah daerah dimungkinkan untuk membina dan memfasilitasi pelaksanaan dan pengembangan pendidikan agama pada satuan pendidikan yang dikelola oleh pemerintah daerah sendiri dan masyarakat.
Bentuknya bisa berupa pemberian insentif hingga hibah sarana dan prasarana.
Pemkot Depok menjamin, fasilitas dari pemerintah untuk pendidikan keagamaan bakal meliputi seluruh agama yang diakui.
"Pendidikan Keagamaan meliputi pendidikan keagamaan Islam (misal pesantren, TPA/TPQ, diniyah dsb.), Kristen dan Katolik (misal sekolah minggu), Hindu (misal Pasraman), Buddha (pabbajja samanera), dan Konghucu (misal shuyuan)," tulis pemerintah.
Dalam raperda ini, Pemkot Depok tak menyatakan apa pun soal mekanisme pembinaan, pengawasan, hingga sanksi administratif.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.