JAKARTA, KOMPAS.com - Dwi Siti Romdhoni (38) masih ingat betul peristiwa traumatis yang dialaminya lima tahun silam.
Saat itu, 14 Januari 2016, perempuan yang akrab disapa Dwiki itu tengah meeting di kedai kopi Starbucks, Thamrin, seberang Mal Sarinah. Tiba-tiba saja, terjadi ledakan pertama yang mengubah suasana menjadi sangat kacau.
"Saya langsung terlempar, mungkin sempat tidak sadarkan diri beberapa saat," kata Dwiki menceritakan kembali kisahnya kepada Kompas.com, Jumat (15/1/2021).
Setelah kesadarannya kembali, Dwi langsung melihat keadaan sudah porak-poranda. Samar-samar dia mendengar teriakan orang minta tolong dari sekitarnya. Banyak yang yang terluka dan berlumuran darah.
Baca juga: 5 Tahun Berlalu, Korban Bom Thamrin Iptu Denny Mahieu Sudah Maafkan Pelaku
Dwi langsung berusaha keluar dari lokasi ledakan itu. Ia merangkak menuju jendela terdekat dan langsung melompat melalui jendela yang kacanya sudah pecah itu.
Namun setelah berada di luar kedai Starbucks, bom kedua kemudian meledak dari pos polisi di sebrang jalan. Ledakan itu kembali membuat Dwi tersentak dan kehilangan kesadaran.
Untungnya salah seorang rekan yang langsung berupaya mengevakuasi Dwiki keluar dari kondisi mencekam itu.
"Digeret aja tuh kaki saya dari situ. Ditarik yang penting jauh dari lokasi. Terus dibawa pakai taksi," ujarnya.
Awalnya Dwiki dilarikan ke Rumah Sakit YPK Mandiri di Menteng di Jakarta Pusat. Karena peralatan rumah sakit yang tidak lengkap, dia kemudian dipindahkan ke RS Medika Permata Hijau, Jakarta Selatan.
Meski tak mengalami pendarahan, Dwiki didiagnosis menderita sejumlah luka dalam. Tiga ruas tulang lehernya patah. Rahangnya mengalami pembengkakan. Pendengaran telinganya terganggu. Begitu juga penglihatannya, terganggu.
Total Dwiki menjalani perawatan selama 10 bulan di rumah sakit. Di awal perawatan, dia hanya bisa terbaring di tempat tidur. Duduk saja tidak bisa.
"Makan saja saya tidak bisa. Harus pakai infus di kedua tangan," ujarnya.
Tak hanya fisik yang terluka. Kondisi psikisnya terganggu. Selama menjalani perawatan, Dwiki mengutuk keadaan yang menimpanya.
Ia bertanya-tanya kenapa dia yang harus menjadi korban dari teror tersebut. Ia memendam dendam dan amarah kepada pelaku. Bahkan kerap kali rasa marah itu dilampiaskan ke orang terdekatnya.
"Bahkan ke ibu saya saja saya marah-marah," katanya.