Kondisi ekonomi Dwiki juga terganggu karena harus menjalani perawatan yang cukup lama. Biaya perawatan memang seluruhnya ditanggung negara. Namun dia tidak lagi bisa bekerja dan tidak mendapatkan penghasilan.
"Saya bilang, kalau memang (hidup) harus berakhir ya berakhir, saya belum terima waktu itu," kata Dwi sambil menitikkan air mata.
Namun, dia tetap mencoba bertahan. Dukungan dari keluarga dan rekan-rekannya membuatnya kuat menjalani cobaan hidup yang begitu pahit.
Awal 2017, Dwiki sudah keluar dari rumah sakit dan mencoba beraktivitas kembali. Namun, semuanya tak lagi sama.
Kondisi fisiknya sudah cukup baik meskipun ia harus tetap rutin rawat jalan ke dokter untuk mengecek perkembangan di ruas lehernya yang sempat patah.
Ia masih beberapa kali pingsan jika melakukan aktivitas cukup berat seperti berolahraga.
"Pernah waktu itu naik sepeda saya tiba-tiba pingsan di Taman Surapati. Saya sampai dikira orang mabuk," katanya.
Di luar kondisi fisik, psikis Dwiki juga belum sepenuhnya pulih. Ia masih belum terima dengan keadaan yang menimpanya. Dendam terhadap para pelaku teror bom masih terpendam di lubuk hatinya.
"Ada secuil yang ngeganjel di hati," katanya.
Baca juga: Bom Mematikan yang Pernah Guncang Jakarta Selain Bom Thamrin
Hingga akhirnya Dwiki dipertemukan dengan para korban teror bom yang lebih dulu terjadi, seperti korban Bom Bali 2002. Di pertemuan itu, Dwiki melihat bahwa ada penyintas teror bom yang kondisinya jauh lebih parah dari dirinya. Banyak yang mengalami cacat fisik dan bekas luka bakar.
"Orang itu sudah lama banget alami kejadian itu dan selama ini saya tidak aware kepada mereka. Saya nih enggak seberapanya dibanding mereka," kata Dwiki.
Setelah itu, Dwiki rutin mengikuti kegiatan rekonsiliasi. Ia berkumpul dengan para korban teror bom hingga mantan napi terorisme yang sudah bertobat.
Saat pertama kali bertemu dengan seorang mantan napi terorisme dalam suatu forum, Dwiki mengaku belum bisa begitu saja memberikan maaf.
Selesai acara, Dwiki menghampiri mantan napi teroris itu. Sambil menangis, ia menegur mantan napi terorisme itu atas perbuatan yang dilakukannya di masa lalu.
"Saya bilang, 'kita sama-sama muslim. Bedanya saya mengucapkan Allahuakbar ketika saya terkena bom. Bapak bilang Allahuakbar ketika membunuh'. Bapak itu lalu nangis juga," kata Dwiki.