Akibatnya, masyarakat mulai melakukan aktivitas normal, mulai dari bekerja, berkumpul bersama kerabat dan keluarga, hingga pergi berlibur. Bahkan, tak jarang aktivitas itu dilakukan tanpa protokol kesehatan ketat seperti memakai masker dan menjaga jarak.
Alhasil, penularan Covid-19 pun semakin meningkat.
"Masyarakat sudah tidak tahan dalam situasi terbatasi. Manusia ini kan makhluk sosial. Dia harus keluar rumah untuk bekerja, bersosialisasi. Secara nature manusia makhluk sosial," ujarnya.
Dicky juga melihat, keabaian masyarakat terhadap protokol kesehatan disebabkan oleh komunikasi publik dari pemerintah yang sulit dipahami.
Ia mencontohkan terkait perubahan istilah dari pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
Ia menilai perbedaan istilah-istilah tersebut hanya membuat masyarakat semakin bingung.
"Komunikasinya membingungkan. Itu membuat masyarakat tidak peduli. Akhirnya mendorong masyarakat jadi abai," kata Dicky.
Baca juga: Rumah Sakit di Jakarta Penuh, Wisma Atlet Kesulitan Rujuk Pasien Covid-19 Gejala Berat
Selain itu, ia juga menilai penegakan protokol kesehatan yang dilakukan pemerintah cenderung tidak tegas dan konsisten. Ia menyinggung soal penegakan hukum yang keras pada satu kelompok, tetapi cenderung lemah pada kelompok lainnya.
Bahkan, kerap kali dari kalangan pemerintah sendiri yang melanggar protokol kesehatan itu dan diabaikan oleh penegak hukum.
"Akhirnya orang bisa ngeliat dan membandingkan. Saya enggak boleh begini begitu, kok yang itu boleh. Misalnya contoh pakai masker, pejabat atau tokoh publik yang terlihat tidak mematuhi, itu kan orang bisa membandingkan," ujarnya.