JAKARTA, KOMPAS.com - Industri perhotelan di Jakarta terus berusaha meningkatkan pendapatan demi mempertahankan bisnis di tengah pandemi Covid-19.
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jakarta meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk memprioritaskan menyelenggarakan event di Jakarta dibandingkan di luar daerah.
“Demand itu kan tergantung dari daya beli masyarakat. Sekarang yang punya daya beli itu pemerintah. Untuk tingkatkan, spending coba Pemprov DKI Jakarta lakukan event-event di Jakarta,” kata Ketua PHRI Jakarta, Sutrisno saat dihubungi via telepon.
Pelaksanaan event di hotel-hotel Jakarta demi meningkatkan pendapatan. Salah satunya, lanjut Sutrisno, seperti rapat dan mengambil katering di restoran-restoran di Jakarta.
“Kadang-kadang kan suka bikin acara di Bandung dan atau di luar Jakarta. Jadi sekarang pemerintah kalau bisa mengadakan acara di Jakarta. Jangan di luar daerah,” ujar Sutrisno.
Ia berharap Pemprov DKI Jakarta bisa membelanjakan anggaran daerah di hotel dan restoran di Jakarta.
Menurut dia, anggaran Pemprov DKI Jakarta juga berasal dari pajak-pajak yang dibayarkan pihak hotel dan restoran.
“Kan pajak juga dari kita-kita juga. Jadi kalau bisa seperti itu (belanja anggaran di hotel-hotel dan restoran) Jakarta supaya bisa menggerakkan industri perhotelan,” kata Sutrisno.
Industri perhotelan di Jakarta sangat terdampak di tengah pandemi Covid-19.
Baca juga: PHRI Jakarta: Kalau PSBB Diperpanjang Terus, Industri Perhotelan Bisa Mati
Fenomena menjual hotel bahkan pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan hotel dan restoran terjadi.
Hotel-hotel dijual di sejumlah marketplace. Hotel yang dijual seperti Hotel Goodrich (Jakarta Selatan), Ibis Bujet Hotel Tanah Abang (Jakarta Pusat), dan Le Meredien (Jakarta Pusat).
“Jual hotel itu sebelum pandemi Covid-19 sudah ada. Akibat pandemi, itu lebih banyak yang jual hotel. Kalau dilihat di iklan-iklan online itu banyak sekali. Sudah banyak di Jakarta,” kata Sutrisno.
Menurut Sutrisno, penjualan hotel-hotel di Jakarta di saat pandemi Covid-19 dilakukan agar menghindari kerugian.
Pasalnya, biaya operasional hotel dan pembayaran kredit tetap berjalan.
“Kalau telat bayar kredit, dendanya akan menumpuk. Jadi harus dijual, kecuali ada investor mau nutup dulu cicilan. Semakin hari kalau tidak dibayar kreditnya kan semakin menumpuk,” tambah Sutrisno.
Sutrisno menyebutkan, pemilik hotel akan berdarah-darah meneruskan usaha perhotelan jika sudah tak bisa membayar cicilan kredit.
Baca juga: Terdampak Pandemi, Pengusaha Perhotelan Minta Pemerintah Ringankan Beban Produksi dan Pajak
Pilihan menjual hotel lebih baik diambil dibandingkan semakin merugi.
Di sisi lain, industri perhotelan juga berharap ada keringanan biaya produksi dan pajak.
“Kami berharap pemerintah meringankan biaya produksi seperti biaya listrik, pajak. Jangan ngejar pajak terlalu kuat lagi,” kata Sutrisno.
Selama masa pandemi Covid-19 industri perhotelan makin sulit mengembangkan bisnis.
Apalagi, pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) semakin membuat industri perhotelan terpuruk.
“Keringanan pajak itu jangan mengejar hotel dan restoran. Kalau dikejar mati dia (industri perhotelan),” kata Sutrisno.
“Memang dalam kondisi yang sulit apalagi dengan PSBB yang diperpanjang-diperpanjang lagi. Saya baca PSBB mau diperpanjang sampai Maret. Kalau PSBB diperpanjang itu industri perhotelan bisa mati,” ujar Sutrisno.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.